23 Juni 2020

Khitan di Masa Pandemi Corona, Mungkinkah?

"Mi, mumpung libur kenaikan kelas, aku sunat sekarang aja ya, bareng Uki," kata Si Bujang dua minggu lalu setelah mendapat pengumuman libur kenaikan kelas.

Saya kaget dong. Secara Si Bujang baru berumur delapan tahun. Umumnya di sini anak-anak dikhitan umur sepuluh atau sebelas tahun. Rupanya, rata-rata anak kelas 3 yang sekelas dengannya sudah banyak yang disunat/dikhitan. Jadilah dia dan Uki (kawan kental plus saudara sepupu) ngebet ingin segera dikhitan.

Saya dan Mas Jo nggak langsung mengiyakan. Banyak sekali pertimbangan yang kami pikirkan. Di tengah masih tingginya angka penularan covid-19, amankah jika kami melaksanakan sunnah itu sekarang?

Awalnya kami tidak begitu menghiraukan ucapan si Bujang dan menganggapnya sebagai omongan anak kecil biasa saja. Namun, si Bujang rupanya tak main-main. Saat hari Senin, 15 Juni lalu Uki benar-benar disunat, si Bujang bertanya lagi kapan dia disunat. Mau tak mau kami pun memikirkan hal ini dengan serius.

Mbah putri alias emak saya, sesuai tradisi yang selama ini dipegang, mulai menghitung hari baik berdasarkan weton hari lahir. Ketemu hari baik untuk melaksanakan sunat si Bujang jatuh pada hari Kamis Kliwon, 18 Juni 2020.

Dan itu besok, nggak ada satu minggu lagi!

Maka mulailah saya mempersiapkan hajat besar ini dalam waktu yang sangat terbatas.

Ada beberapa pertimbangan yang akhirnya membuat kami berani memutuskan untuk segera dilaksanakan khitan bagi Si Bujang.

  1. Si Bujang meminta sendiri untuk dikhitan, artinya secara mental ia siap menghadapi prosesnya.
  2. Meski masih masa pandemi, tidak ada kasus PDP covid di sekitar tempat tinggal kami.
  3. Kecamatan Watukumpul dan Belik selalu dalam status zona hijau.
  4. Protokol kesehatan masyarakat selalu diterapkan.
 
khitan masa pandemi
siap dikhitan

Terkait hari baik yang sebelumnya saya singgung, ya, keluarga kami masih memegang tradisi hitungan weton. Setiap akan melaksanakan hajat besar seperti menikah, khitan, membangun rumah, dll, kami selalu menghitung hari baik. Biasanya orang-orang tua lah yang mengetahui ilmu seperti itu.

Bagi saya sendiri, hari baik saya artikan sebagai hari di mana doa dan restu dari orang tua terlimpah bagi kebaikan si Bujang. Maka terlepas dari weton dan primbon, saya meyakini doa orang tua pasti makbul dan mujarab. Maka kami pun mantap melaksanakan khitan itu sekarang.


H-1: Bersih Bagi Calon Khitan


ritual sebelum khitan
Bersih ke makam sehari sebelum sunat

Hari Rabu 17 Juni kemarin kami benar-benar hectic. Kami bagi-bagi tugas. Mas Jo pagi-pagi sudah mengatur karyawan tukang dekorasi untuk dipasang di rumah klien pengantin Rumah Tsabita. Beruntung pekerjaan beliau terkait pembagian bantuan sosial corona dari propinsi sudah selesai Selasa kemarin.

Saya berbelanja banyak sekali bahan makanan untuk keperluan memasak hidangan walimatul khitan. Siangnya dengan diantar ojek saya pergi mendaftar ke klinik di Belik yang diinginkan si Bujang untuk sunat. Belik itu kecamatan tetangga. Lumayan jauh, sekitar 30 menit perjalanan roda dua.

Kenapa nggak sunat di klinik dekat rumah?

Si Bujang ini rupanya mantep bin yakin bahwa sunat di klinik Belik ini tidak sakit. Begitu kata teman-temannya. Jadilah banyak sekali anak-anak kampung ini yang sunat di sana padahal di dekat sini pun ada pula dokter dan mantri sunat.

Yah, kami pun menurut saja dia maunya sunat di Belik. Bukan karena sunat di sana tidak sakit. Tapi menurut saya sendiri, sugesti itu penting. Meski sudah dibujuk untuk sunat di klinik dekat rumah pun, karena anak sudah tersugesti sunat di Belik tidak sakit ya tetap saja maunya sunat di sana.

Siang itu sepulang mendaftar, saya langsung memasak untuk membuat Golong Pitu, yaitu nasi berkat sebanyak tujuh buah yang dibagikan pada teman-teman si Bujang yang ikut dalam ritual Bersih.

Ritual Bersih adalah kegiatan tahlil mendoakan orang tua dan sesepuh yang telah wafat di makam Mbah Among atau disebut Cungkub. Pengantin Sunat biasanya melaksanakan Bersih sehari sebelum disunat. Teman-teman sebaya Si Bujang diajak untuk berdoa bersama di Cungkub.

Sepulang dari Bersih, mereka diberi nasi berkat Golong Pitu. Judulnya saja Golong Pitu. Aslinya saya bikin nasi berkatnya ya lebih dari tujuh, sekitar 15 berkat karena teman-teman Si Bujang yang ikut bersih juga banyak.


Hari H: Aku Dikhitan!


masker untuk protokol covid
Siap berangkat mengantar si Bujang khitan


sunat center didik
Sunat Center H. Didik Belik

Jika kemarin saja sudah hectic, maka hari ini Kamis, 18 Juni saya super hectic. Subuh-subuh kami bangun dan segera berangkat ke klinik mengantar si Bujang. Saya mendaftar sunat jam 6 pagi. Setelah sekitar tiga puluh menit perjalanan, kami sampai di klinik dan langsung menuju ruang khitan.

Dokter Didik sangat ramah dan menyambut kami dengan bersemangat. Hal ini membuat si Bujang relaks. Namun begitu, saat suntik bius dilakukan tetap saja ia meringis kesakitan.

Saya? Saya nggak berani melihat apapun yang dilakukan dokter. Saya hanya memegang erat tangan si Bujang, berusaha memberi kekuatan meski saya sendiri ketakutan.

sunat saat covid
mendampingi Si Bujang melewati satu fase penting hidupnya

Meski dua kali melahirkan, tetap saja saya takut berhadapan dengan jarum suntik dan segala alat operasi. Jadi, mending saya nggak melihatnya.

Si Bujang sempat menangis dan merasakan sakit. Kata dokter kulitnya agak kelet / lengket, jadi mungkin akan sedikit sakit. Saya tak berani melihat proses sunatnya.

Sungguh, melihat anak kesakitan juga hati ibu ikut nyeri. Saat itu saya berpikir, ternyata manusia sudah akrab dengan luka dan sakit bahkan sejak dilahirkan. Para ibu kesakitan tiada tara demi kehidupan baru sang bayi. Bayi itu menangis saat tali pusat yang memberinya nutrisi di alam rahim dipotong dan digantikan ASI yang bergizi. Anak-anak dikhitan dan menahan sakit demi sunnah dan kesehatan.

Ternyata setiap rasa sakit menandakan satu fase penting kehidupan menuju fase lain yang sama baiknya.

Mungkin pandemi korona ini pun begitu. Terlepas dari benar tidaknya konspirasi, Tuhan menurunkan korona sebagai luka dan sakit pada dunia sebagai pertanda peralihan zaman. Maka fase kehidupan sebelum dan setelah pandemi korona ini pastilah sama baiknya bagi dunia. Tinggal bagaimana kita menyikapi hidup di masa new normal.

Duh, merenung bikin hati saya melankonis. Hehe.... Lanjut ya cerita khitannya.

Proses sunat si Bujang terbilang sebentar, sekitar lima belas menit. Setelah dijahit dan diberi obat, mengenakan celana khusus khitan, kami segera pulang. Si Bujang diberi hadiah kaos.

Sebelum pulang, kami sempat melihat kera peliharaan pak dokter. Kera dalam kandang ini menjadi hiburan anak-anak yang ikut mengantar khitan. Rupanya, warga di sekitar sini jika ada anak yang dikhitan, teman-temannya banyak sekali yang ikut mengantar. Tidak seperti kami yang datang hanya satu keluarga saja. Hihihi ....

hewan peliharaan
Kera milik pak dokter


celana salam khusus khitan
celana dalam khusus sunat

Mapas Setelah Dikhitan


Di kampung kami, ada tradisi mapas setelah dikhitan dan melahirkan. Mapas adalah memakan segala jenis makanan meski dalam porsi sedikit (kadang hanya satu gigitan) segera setelah khitan atau melahirkan. Tujuannya agar luka baru di tubuh orang yang baru saja dikhitan (dan melahirkan) 'mengenal' berbagai kandungan yang terdapat dalam makanan-makanan tersebut. Konon, jika tidak mapas, si anak akan alergi dan lukanya bisa kambuh sewaktu-waktu.

Terlepas dari benar atau tidaknya dasar ilmiah tradisi mapas ini, toh si Bujang menikmati dengan suka cita berbagai jernis makanan enak yang disajikan di samping tempat tidurnya. Sampai sekarang ia menyebut makanan-makanan yang diletakkan di kamar itu dengan nama mapas. Padahal mapas itu kegiatan makan, bukan nama makanannya. Haha!

Malam hari tepat malam Jumat kami mengadakan selamatan walimatul khitan. Alhamdulillah, saat keesokan harinya, si Bujang sudah bisa ditinggal pergi nge-job meski semalaman hampir tak tidur dan terus mengerang gelisah karena efek biusnya sudah habis.

Tidak ada pesta mesiah di rumah kami, tapi doa-doa dari sanak kerabat dan tetangga terlimpah bagi kesembuhan si Bujang. Semoga lekas sembuh dan menjadi anak saleh ya, Nak.***



Blog tentang kecantikan, make up, fesyen, mode, dan budaya

5 komentar:

  1. Semoga segera pulih Bujangnya mb ❤️

    BalasHapus
  2. semoga lekas sembuh, eh tetapi khitan sekarang cepat lah sembuhnya 2 - 3 hari sudah dapat lari, ingat waktu kecil sarung di pakai in tepes (sabut kelapa) agar tidak tergesek kain hehehe, mari saling suport

    BalasHapus
  3. Alhamdulillah si bujang sudah di khitan ya mbak Lasmi. Semoga sekarang sudah sembuh dan bisa beraktivitas seperti biasa.

    Di keluarga saya juga kalo mau mengadakan acara penting seperti pernikahan atau lainnya suka nyari hari baik. Biasanya tanya kepada orang tua yang paham weton.😄

    BalasHapus
  4. Sudah menjadi tradisi
    Saat sunatan biasanya emak-emak yang hebohnya tidak ketulungan :D
    Terlalu kawatir dan cemas

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkunjung. Ditunggu tanggapan dan komentarnya ya.