03 Oktober 2019

Menaklukkan Labirin Cinta Terlarang

 

"Seperti biasa, aku diam tak bicara
hanya mampu pandangi bibir tipismu yang menarik

Seperti biasa, aku tak mampu berjanji
hanya mampu katakan 'Aku cinta kau, saat ini'

Entah esok hari
Entah lusa nanti
Entah..."

Lirik ini sangat familiar di telinga saya karena sudah menjadi playlist wajib zaman perangkat komputer masih dekstop pentium satu yang hardisk-nya saja cuma 4GB. Dulu, hiburan satu-satunya selain game Soliter ya Winamp dengan playlist lagu-lagi Iwan Fals. Itupun tak banyak.

Sampai sekarang perangkat sudah Intel Core i5 640 GB HDD, lagu ini tetap ada dan saya putar sewaktu-waktu sebagai mood booster. Ya, namanya juga nge-fans, tak ada kata bosan didengarkan. Makin meleganda saja sosok penyanyinya.

Saya menyukai semua lirik lagu Iwan Fals. Menurut saya liriknya jujur, apa adanya. Meski menurut sebagian orang terlalu vulgar, tapi saya menyukainya. Tengok sebutannya pada orang yang dicintai: "perempuanku, betinaku", terdengar janggal tapi memang seperti itulah kaum laki-laki memandang perempuan. Setidaknya lirik-lirik lagu ini merepresantikan cara otak laki-laki bekerja.

Kadang saya iri dengan kaum adam. Hidup begitu sederhana di mata mereka. Praktis, tidak rumit seperti perempuan. Bagi laki-laki, hanya ada kata iya atau tidak. Sekarang atau tidak sama sekali. Lakukan saja, soal akibatnya bagaimana, pikir keri, pikirkan nanti saja, begitu kira-kira. 

Mungkin itulah mengapa tanggung jawab sebagai kepala rumah tangga dibebankan pada laki-laki. Mereka lebih banyak memakai logika dan spontanitas. Dalam mengambil keputusan tak banyak ragu-ragu seperti perempuan. Begitu pula dalam memperlakukan cinta pada lawan jenis. Coba cerna lagu ini: "...ingin kucongkel keluar indah matamu, agar engkau tahu memang indah matamu..."
Ya ampun, seperti itulah laki-laki. Seperti itu pula cara mereka menyampaikan pujian dan menunjukkan sisi keromantisan.

Mengapa saya tiba-tiba membahas lagu Iwan Fals? Sebenarnya saya sedang teringat dengan seorang teman laki-laki, sebut saja Mas Bambang. Evenhow saya memikirkannya karena pernah sedikit 'bermain hati'. 

Oke, saya salah. Dan secara dewasa saya sudah berhasil menetralkan perasaan yang sempat timbul. Saya sudah berumah tangga, dia pun begitu. Selesai. Maka ketika saya berhasil menuliskannya secara terbuka seperti sekarang, artinya sudah tak ada lagi yang perlu disimpan atau menjadi ganjalan di antara kami. Hubungan selanjutnya murni hanya teman. Jika lebih dari teman pun, saya menganggapnya sebagai guru.

Jujur, saya sendiri rancu dengan sebutan teman. Semua yang saya kenal, saya sebut teman. Entah itu kenal secara nyata maupun hanya lewat dunia maya.

Sebagaimana teman pada umumnya, tak ada batasan untuk melempar canda. Bagi saya sendiri yang bekerja di dunia hiburan, mau tak mau tentu mengikuti gaya pergaulan sesama para penampil dan penghibur acara. Saling melempar bully-an candaan, saling menggoda, bahkan sering memberikan sebutan atau panggilan 'sayang' pada sesama rekan seprofesi tanpa khawatir baper atau tersinggung. Sebutan seperti Bojo Keloro, Selingkuhan Nomer Papat, Pacar Bayangan, kerap mewarnai canda tawa kami. Tentu saja semua itu dilakukan tanpa melebihi batas dan tetap menjaga harga diri masing-masing.

Kami, para pekerja seni ini sebagian besar berangkat dari pekerjaan sampingan. Paling banyak dari kami adalah guru, PNS, pegawai kecamatan, ada pula yang perangkat desa atau pekerjaan formal lain. Profesi pekerja seni 'ditelateni' sebagai hobi yang menghasilkan, menghibur diri dan orang lain yang dibayar, membuang jenuh tapi mendapat uang. Meski sebenarnya, realisasinya tak sesederhana itu. Tuntutan dan beban mental pekerja seni amat besar. Guyonan-guyonan ringan sangat efektif menurunkan ketegangan.

Agaknya kebiasaan ini sudah salah saya terapkan pada Mas Bambang. Guyonan yang semula iseng saya lemparkan, menjadi bumerang bagi diri sendiri. Saya mulai memikirkannya lebih banyak dari sebelumnya, menunggu-nunggu balasan chat darinya dengan hati penuh harap. Saya pun heran, mengapa bisa seperti itu. Dengan rekan seprofesi yang bisa memanggil Sayang saja saya tak ada perasaan apapun.

Setelah saya telaah (jeilahh...) dan saya pikirkan lebih dalam, mungkin hal ini karena kami tidak saling mengenal secara nyata. Tidak mengetahui baik dan buruk sifat masing-masing, hanya mengenal dan membayangkan yang baik-baik saja satu sama lain. Berbeda dengan teman dunia nyata, masing-masing kami saling mengenal suami atau istrinya, bahkan hingga keluarga besar. Maka semua candaan pun dianggap wajar-wajar saja.

Mengenal Mas Bambang, banyak membuka pemikiran saya tentang cara berpikir laki-laki. Atau cara dia berpikir, khususnya. Mirip Iwan Fals, menurut saya. Praktis dan spontan. Sangat berbeda dengan perempuan (saya) yang serba penuh pertimbangan.

Banyak kesempatan bagi saya untuk 'melepaskan diri' dari tekanan batin dan menjalin hubungan suka sama suka dengan Mas Bambang. Kami tidak khawatir kepergok karena pasangan tidak bermain media sosial, sebenarnya. Saya menyukainya dan dia menyukai saya, itu cukup bisa dijadikan alasan. Namun, ketika sampai pada satu titik itulah saya menyadari sesuatu yang lebih besar dan berharga. Yaitu saya sendiri. Saya akan mendapat perlakuan sesuai dengan perlakukan saya pada orang lain. Saya berharga jika bisa menghargai diri sendiri. Prinsip bahwa "perempuan baik untuk laki-laki baik, dan perempuan berkelakuan buruk untuk laki-laki yang buruk pula" harus saya pegang. Karma akan selalu ada dan saya tidak ingin suami melakukan hal yang sama dengan perempuan lain.

Lalu jika kami benar melakukan perselingkuhan, apakah ini salah Mas Bambang?

Tidak. Dia hanya menguji saya, seberapa kuat saya menahan godaan. Ia sangat menghargai saya. Saya sudah mengujinya. Buktinya, setelah memutuskan hubungan ini sebatas teman saja, beberapa chat saya yang berisi hal pribadi, tidak ia balas. Dari situlah saya yakin bahwa ia orang baik dan tulus. Hanya waktu dan tempat yang tidak tepat saja yang membuat hubungan kami menjadi salah di mata norma.

Sebelum merasakan sendiri, dulu saya sangat percaya diri. Yakin seratus persen, hati ini tak akan pernah mungkin bisa disinggahi rasa spesial lagi. Namun, tidak ada yang bisa menjamin kondisi hati. Rasa itu datang sekonyong-konyong tanpa disadari. Setidaknya saya tahu, rasa itupun bisa hilang juga, seperti dalam kutipan lirik lagu Iwan Fals di atas. "Aku cinta kau saat ini, entah esok hari, entah lusa nanti."

Ada alasan kuat mengapa saya perlu menuliskan hal ini. Banyak teman yang menyampaikan curahan hati pada saya. Ternyata, banyak sekali teman-teman perempuan yang terjebak hubungan semacam ini. Di zaman yang serba digital, online semudah sentuhan jari untuk berbagi informasi dan data diri, banyak kasus perempuan hilang yang bermula dari saling kenal di dunia maya.

Saya bukan orang baik. Saya juga memiliki sisi 'nakal' dan keingintahuan yang besar terhadap hal-hal 'kotor' yang belum pernah dirasakan. Tapi percayalah, saya sangat tahu kegelisahan, kegalauan, dan ketakutan menyembunyikan hubungan tak resmi semacam ini sangat membuat hati tidak nyaman.

Teman-teman ini ingin mengakhiri, tapi tidak siap. Mereka ingin berhenti, tapi tak tahu bagaimana caranya.

Setidaknya ini yang saya pelajari dari masalah ini.
  1. Jika rasa itu tetap muncul, terima saja semua rasa apapun dalam hati. Semua riak emosi dalam hati itu wajar. Rasa cinta, benci, sedih, senang, kecewa, perlu memiliki tempat dalam hati. Mereka butuh pengakuan. Tidak perlu memberontak, biarkan saja mengendap. Waktu akan mengobati semuanya pelan-pelan. Rasa itu akan hilang dengan sendirinya.
  2. Laki-laki memikirkan seks dan tampilan fisik lebih banyak daripada perempuan. Maka hindari bercanda dengan hal-hal berbau seks dan eksplorasi fisik agar tak terpancing ke arah pembicaraan yang lebih pribadi.
  3. Perempuan lebih pandai memendam rasa. Maka jika kita memiliki rasa, cukup dipendam saja, endapkan. Pikirkan baik dan buruk segala sesuatu.
  4. Penyesalan selalu datang terlambat. Maka kendalikan diri agar tak melewati batas jika tak ingin menyesal di kemudian hari.
  5. Ujian rumah tangga bisa datang darimana saja. Ada yang diuji dengan masalah keuangan, ada yang diuji dengan kesehatan, ada yang diuji dengan anak-anak, ada pula ujian hati. Maka apapun ujiannya, jalani dengan lapang dada. Tetaplah berusaha menjadi yang terbaik dan terus menjadi lebih baik.
  6. Berdoa dan memohon perlindungan pada Sang Maha Pembolak Balik Hati, agar mampu melewati ujian hati.
  7. Tidak ada manusia sempurna. Begitu pula pasangan kita, bahkan diri kita sendiri. Jika ada sesuatu yang tak bisa didapatkan dari pasangan, bukan berarti kita bisa mencarinya dari orang lain. Prinsipnya: kelemahannya bisa jadi kelebihanku, kekuatannya mungkin adalah kekuranganku.
  8. Sebisa mungkin kita menjaga komunikasi dengan pasangan agar tidak renggang.
  9. Dalam pernikahan, cinta dan kasih sayang memiliki porsi 50 %. Sisanya adalah komitmen. Maka apapun yang terjadi, tetap ingat dengan komitmen awal pernikahan.
  10. Prioritaskan mempertahankan rumah tangga dengan memperbaiki kekurangan dalam hubungan rumah tangga, bukan mencari pelipur lara di luar sana.
  11. Sepanjang tidak ada kekerasan dalam rumah tangga dan tidak terjebak hubungan toxic, semua masalah masih bisa diatasi.
  12. Jangan berputus asa atau berkecil hati. Cinta dari pasangan mungkin mengalami pasang surut. Namun, selama masih ada effort untuk saling bertahan, segala ujian dan godaan akan bisa dihadapi.

Sebelum menuliskan ini, saya sempat diingatkan oleh seorang teman, "jangan menyia-nyiakan orang yang memberikan perhatian dengan tulus. Bisa jadi hanya dari dialah kamu mendapatkan hal yang tak kamu dapatkan dari orang lain."

Saya setuju dengannya. Maka dengan tulisan ini saya ingin Mas Bambang tahu, ia sudah mengajarkan banyak pelajaran hidup. Rasa terima kasih ini sungguh besar dan tulus, melebihi rasa apapun yang sempat mewarnai pertemanan kami.

Ya, sekarang kami masih berteman. Teman yang saling mendukung, saling mendoakan, dan saling mengharapkan kebaikan satu sama lain. Meski sebelum bisa benar-benar lega seperti hari ini, butuh satu bulan penuh bagi saya untuk menangis dalam sepi.

Selalu ada pelajaran di balik setiap masa dan peristiwa.***

Blog tentang kecantikan, make up, fesyen, mode, dan budaya

12 komentar:

  1. wah.... bikin baper tulisannya, tapi sekaligus mencerahkan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga bermanfaat. Terima kasih sudah berkunjung.

      Hapus
  2. Artikelnya penuh penghayatan, sungguh luar biasa.
    Mencari teman untuk berbagi memang tak mudah. Pas lagi akur, ya mungkin baik-baik saja. Tapi giliran sudah berpisah, yang ada saling mencela, tak bisa menjaga nama baik. Seperti itu kasus PNS purwakarta. :)
    Kalau saya suka dengan lagunya brory, tapi lupa judulnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iyaa.
      Terima kasih banyak.
      Broery juga salah satu penyanyi yang melegenda.

      Hapus
  3. kedewasaan dan kejernihan berpikir yang akhirnya menang ya mbak Lasmi..
    salut

    BalasHapus
  4. Dari lagu Iwan Fals di atas, sepertinya kita dari generasi yang sama nih :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bisa jadi Bang D.
      Kira2 aja angkatan berapa yang minta jatah kirimannya harus ke wartel dulu :>

      Hapus
    2. wkkwkww... saya malah masih ngirim telegram ke kampung

      Hapus
    3. Angkatan abang sulung saya itu. Bapa suka gemetar dapat telegram karena biasanya telegram untuk mengirim berita buruk.

      Setelah dibaca, gemetarnya hilang.

      Artinya adalah: permintaan jatah kiriman tidak termasuk kategori berita yang buruk-buruk amat :D

      Hapus
  5. Bagus mba tulisanya. Jadi penasaran dengan "mas bambang" ini

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehe...
      Tak usah tahu.
      Dia baca tulisan ini kok.

      Sejujurnya saya juga tidak tahu siapa dia. Namanya juga teman dunia maya. Biarkan saja menjadi misteri.

      Sudah cukup rumit hidupnya tanpa saya ketahui identitas aslinya.

      Hapus

Terima kasih sudah berkunjung. Ditunggu tanggapan dan komentarnya ya.