02 November 2018

Wajah Cinta Penjahit Muda-Bagian 3


SERAGAM BARU





Ada banyak hari libur dan tanggal merah di bulan Mei dan Juni ini. Buat anak-anak hal ini menyenangkan. Entahlah, bahkan saya sendiri jika ada libur tanggal merah serasa hati berbunga-bunga. Seperti bonus pula bagi para Mamak untuk libur sejenak dari rutinitas bergelut mempersiapkan buah hati ke sekolah sejak pagi buta. Agak sedikit santai lah kalau hari libur. Masak sarapan, nyuci baju, menyiapkan air hangat untuk mandi, dll, agak siang sedikit tidak mengapa, tidak terlalu terburu-buru seperti hari aktif sekolah setiap harinya.


Ada cerita menggelikan dihari Sabtu ini. Pekan kemarin, libur tanggal merah jatuh pada hari Selasa tanggal 1 Mei memperingati Hari Buruh Nasional. Pekan ini libur tanggal merah jatuh pada hari Kamis, tanggal 10 Mei memperingati Kenaikan Yesus Kristus. 


Hari Jumat kemarin, anak-anak masuk sekolah seperti biasa dengan memakai seragam pramuka lengkap. Entah keenakan kebanyakan libur atau kurang komunikasi, kupikir hari Sabtu ini libur lagi. Kumasukkan saja seragam pramuka kedua anakku ke dalam mesin cuci saat hari masih gelap seperti biasanya. Ketika anak-anak terbangun, mereka mencari-cari seragam pramuka hendak bersiap-siap untuk mandi dan berganti pakaian. Sontak saja aku dan Mas Jo kaget.


“lho, hari ini ngga libur tho?” Tanya Mas Jo

“Nggak, Ayah…” Tsabi dan Rafi nampak khawatir.

Ya ampuun…seragam terlanjur basah sedang dicuci. Seragam pramuka cuma ada satu. Bagaimana ini? Hari masih gelap, belum ada toko pakaian yang buka. Menunggu toko buka artinya anak-anak akan terlambat ke sekolah. 


Aku mulai mengais-ngais ingatanku, mencoba mencari dimana dulu menyimpan seragam pramuka lama. Kardus-kardus di kolong dipan dibuka satu persatu. Akhirnya satu rumah sibuk mencari-cari seragam lama, tidak ada yang sempat menyiapkan sarapan, apalagi meneruskan mencuci baju. Ah, mereka bisa sarapan di kantin nanti. Seragamnya gimanaaa…?


Tsabi masih beruntung, dia memiliki cadangan baju atasan pramuka di lemari, tinggal mencari roknya saja. 


Satu potong baju siaga yang ditemukan dalam kardus baju lama, bekas milik Tsabi yang kekecilan, buru-buru kuganti tanda bet-nya (badge) dengan bet laki-laki untuk dipakai adiknya, Rafi. Tinggal mencari celananya. Beruntung ibunya penjahit dan menjual bet pramuka lengkap, bisikku dalam hati. 


Sementara aku menjahit bet, Mas Jo mencari bantuan kesana-kemari kerumah saudara-saudara yang memiliki anak laki-laki untuk meminjam celananya, barangkali ada celana kekecilan yang bisa dipakai Rafi.


Tapi kabar yang kuterima ketika kembali, membuatku semakin geli-geli bingung. Mas Jo bilang mereka juga sama, sedang kebingungan karena seragam pramukanya juga dicuci! Kalaupun ada cadangan, pastilah dipakai sendiri. Waduh! Semua orang menjadi pelupa hari ini?


Akhirnya aku memutar otak. Aku ingat Rafi punya kostum polisi yang dipakai pada karnaval Agustus tahun lalu. 


“Rafi pakai celana polisi ini saja ya? Kan warnanya juga cokelat, sama dengan seragam pramuka.” Kubujuk si bungsu agar mau memakai celana polisi.

“Tapi kan panjang, Mi…” Rafi merengut.

“Ngga papa, boleh pakai celana panjang. Temen Rafi kan ada juga yang pakai celana panjang.” 


Rafi makin merengut tanda tidak mau memakainya. Matanya berkaca-kaca.

Duh, makin bingung saja ini mamak, anak-anak baru memakai baju atasan saja, dan hari makin beranjak siang. 


Dari kardus yang lain Mas Jo menemukan rok coklat lama milik Tsabi. Saat dipakai, ternyata sudah sangat pendek dan kecil walaupun sudah diturunkan ke pinggul (tentu saja). Kubujuk agar mau memakainya sehariiiii ini saja. Pakai kaos kaki yang panjang ya, pesanku. Celana short-nya sedikit terlihat dan Tsabi tampak sangat tidak nyaman. Tapi apa boleh buat. Masalah Tsabi kuanggap sudah selesai.


Giliran Rafi. Aku harus cepat! Kuambil inisiatif, celana panjang polisi ini harus dipermak menjadi celana pendek seperti yang Rafi mau, jika tidak ingin dia ngambek seharian gara-gara masalah ini.


Aku bergegas ke ruang jahit. Kudedel dengan cepat, kulipat-lipat (lima lipatan selebar 5 cm) lalu kujahit. Sengaja tidak kupotong agar nantinya sewaktu-waktu bisa dibuka lagi menjadi celana panjang. Biasaaa…mamak-mamak pelit selalu begitu, dalihnya adalah : berpikir ke depan. Biar bisa dipakai lagi karnaval nanti kostum polisinya. Haha!


Dan… sret sret sret. Taraaa…! Jadilah celana pramuka pendek! Beruntung ibunya tukang jahit, lagi-lagi aku bergumam sendiri.


Rafi tersenyum senang. Mereka siap berangkat walau Tsabi tetap terlihat kurang nyaman dengan roknya.


Sejurus sebelum berangkat sekolah, Paman Kuat yang juga guru SD datang membawa sesuatu. Ternyata rok pramuka baru! Masih dengan merek dan bandrol harganya! Pasti paman ikut hectic juga karena urusan seragam masuk mesin cuci.


“Ini rok baru. Dulu paman beli 5 tahun lalu untuk contoh saat sosialisasi seragam pramuka siaga yang baru. Atasannya dipakai Lantip. Roknya masih kusimpan. Ini buat Tsabi saja.” Terang Paman yang memiliki tiga orang anak laki-laki ini.


“Ya Alloh, 5 tahun lalu itu berarti waktu Tsabi dan Lantip kelas 1 ya. Roknya masih tersimpan rapi. Jangan-jangan persiapan berharap adiknya Lantip cewek, eh, malah cowok lagi….” Hahaha…kami semua tertawa. Saat dipakai Tsabi, ukurannya pas sekali! Rasanya lega dan bahagia…


Hari itu aku meneruskan mencuci baju setelah anakku benar-benar sudah berangkat ke sekolah dengan seragam pramuka ‘baru’ mereka. Tsabi dengan rok barunya yang dibeli Paman Kuat 5 tahun lalu, Rafi dengan celana polisinya yang kini disulap pendek menjadi celana pramuka ‘baru’.


Pelajaran buat mamak-mamak pelit seluruh dunia : jika kalian bukan penjahit, belilah seragam cadangan untuk anak-anak kalian. Jika kalian penjahit, sempatkan menjahit seragam cadangan untuk anak-anak, sebelum mengalami pagi yang kacau seperti ini!

****

Blog tentang kecantikan, make up, fesyen, mode, dan budaya