Tampilkan postingan dengan label curhat penjahit. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label curhat penjahit. Tampilkan semua postingan
05 Agustus 2022

Suka Duka Penyintas Anosmia

Penyebab Anosmia



Istilah Anosmia belakangan sering disebut oleh banyak orang. Konon, anosmia bisa jadi indikator seseorang terpapar virus corona. Sebenarnya, apa sih, anosmia itu?


Anosmia diartikan secara bebas sebagai kondisi seseorang yang tidak peka dalam menghidu bebauan. Syaraf dalam indra penciuman yang bertugas mengirimkan sinyal bebauan yang ditangkap lalu kemudian diterjemahkan oleh otak, tidak bekerja secara optimal. 


Karena syaraf tidak mengirim sinyal aroma secara optimal pada otak, maka otak pun tidak menerjemahkan aroma-aroma apapun pada orang dengan anosmia tersebut. Bisa jadi lambat, atau bahkan tidak sama sekali.


Dari beberapa sumber, penyebab anosmia adalah virus, seperti virus influenza dan yang beberapa waktu belakangan ini merebak yaitu corona virus. Penyebab lainnya adalah kerusakan syaraf setelah terjadi benturan. 


Pada kasus lainnya, anosmia juga bisa terjadi karena faktor genetik / keturunan. Dalam keluarga kami, saya termasuk penyintas anosmia yang disebabkan faktor genetik. 


Setidaknya ada tiga orang dalam keluarga besar kami yang merupakan penderita anosmia, termasuk saya. Faktor genetik ini pula yang membuat beberapa orang dalam keluarga kami menderita buta warna parsial dan buta warna total.



Anosmia, Berbahayakah?



Saat seseorang terkena anosmia, berbagai macam aroma dan bebauan, tidak akan dirasakan. Efek jangka pendek maupun jangka panjang sudah pasti ada. Efek ini bisa membahayakan atau bisa juga tidak.


Anosmia akibat terserang virus bisa sembuh dengan sendirinya. Pada anosmia yang diakibatkan benturan bisa disembuhkan dengan terapi. Namun, anosmia karena faktor genetik belum ada penelitian khusus mengenai pengobatannya.



Efek Saat Terkena Anosmia


Efek jangka pendek pada penderita anosmia, di antaranya,


1. Nafsu makan berkurang


Indera penciuman berkaitan erat dengan nafsu makan. Sensasi aroma pada makanan yang terhirup, merangsang otak untuk merasakannya lewat lidah. Lidah dan hidung seperti dua hal tak terpisahkan untuk menikmati makanan secara maksimal.


Contohnya seperti pada orang yang terserang flu, lidah seolah mati rasa karena hidung tidak dapat membaui aroma makanan. Makan pun terasa hambar.


2. Mood Berkurang


Tidak bisa dipungkiri, mood juga berhubungan dengan indera penciuman. Ketika seseorang mencium aroma wangi dan segar, suasana hati terbawa rasa senang dan ceria. Begitu pun sebaliknya.


Tak heran, bisnis parfum, cologne, deodoran, dan sejenisnya, tidak pernah sepi peminat. Aroma memang sangat mempengaruhi mood seseorang. Dari review berbagai produk dalam blog lifestyle pun, aroma produk sangat penting untuk diulas. 


Ketika seseorang terserang anosmia, aroma-aroma yang bisa membangkitkan mood bagus, tidak tercium sehingga mood bisa berkurang.


3. Tidak Mudah Mengingat Sesuatu atau Seseorang


Salah satu hal yang menakjubkan dari penciuman adalah seseorang dapat mengenali berbagai hal atau bermacam orang, hanya dari mencium aromanya. Bahkan, seseorang bisa menebak jenis kelamin orang lain dari bau badannya meski dengan mata tertutup.


Indera penciuman akan sangat peka terutama saat perempuan datang bulan. Oleh karena itu, perempuan dapat mengingat banyak hal dengan jelas ketika sedang menstruasi. Selain itu, mood mudah berubah-ubah karena aroma sehalus apapun bisa tercium dan mengganggu.


Sebaliknya, ketika sedang terserang anosmia, seseorang susah mengingat orang lain karena tidak mengenali aroma tubuhnya. Begitu pula saat terjadi momen yang melibatkan ingatan akan bebauan, maka ia sulit mengingatnya.



Anosmia Genetik


Pada keluarga kami, kami menderita anosmia karena faktor keturunan. Belum pernah sekalipun kami memeriksakan diri pada dokter karena selama ini kami tidak merasa terkendala dengan kelainan ini.


Berbeda dengan buta warna yang memang ada tes khusus untuk mengujinya, tes anosmia tidak ada. Kami hanya menyadari dengan sendirinya bahwa kami berbeda. Indera penciuman kami tidak se-peka orang lain.


Saya sendiri menyadari hal ini sejak kecil. Ketika teman-teman ribut mempermasalahkan bau apapun, saya jadi orang terakhir yang menyadari adanya bau tersebut.


Mungkin saya menderita anosmia parsial. Saya katakan mungkin karena belum pernah memeriksakan diri pada tenaga kesehatan. Bebauan bagi saya hanya tercium jika dihirup dari jarak sangat dekat dengan hidung. Atau ketika ada yang mengatakan suatu aroma tertentu, saya baru menyadari beberapa saat kemudian dengan menghisapnya perlahan.



Hal yang Perlu Diperhatikan 


Saat ada anggota keluarga yang terkena anosmia, terutama anosmia genetik yang tidak dapat disembuhkan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.


1. Bagi penderita.


Hal pertama yang harus diperhatikan adalah menyadari bahwa saya anosmia. Oleh karena itu maka lakukan hal sebagai berikut:


1. Menjaga kebersihan badan dan tempat tinggal.

Karena penderita anosmia tidak peka terhadap bebauan, maka salah satu antisipasinya adalah dengan mencegah bau tak sedap yang bisa muncul dari badan dan tempat tinggal. Hal ini agar tidak mengganggu orang lain di sekitar kita.


2. Memilih pekerjaan yang tidak membutuhkan kepekaan penciuman.

Beberapa pekerjaan membutuhkan kepekaan penciuman tinggi, seperti barista, koki, peracik parfum, dll. Karena anosmia genetik tidak peka terhadap bebauan, sebaiknya pilih pekerjaan yang tidak membutuhkan kepekaan penciuman.


Saya sendiri menjadi MUA dan tailor karena dua pekerjaan ini tidak membutuhkan kepekaan penciuman. Keahlian tangan sangat menentukan. Sepanjang kebersihan diri dijaga, selama ini saya tidak mengalami kendala dalam bekerja.


3. Menghindari aktifitas yang membahayakan akibat kurangnya daya hidu. 

Satu aktifitas yang tidak berani saya lakukan sampai hari ini adalah memasang regulator gas. Alasannya tentu karena saya hanya dapat mencium bau gas dari jarak sangat dekat. Saya khawatir jika regulator tidak terpasang sempurna dan menimbulkan bocor halus, saya tidak dapat menciumnya.


4. Melatih kepekaan daya ingat.

Karena mengingat seseorang dengan aroma sulit dilakukan, saya melatih diri mengingat orang dengan tanda-tanda fisik khas yang terlihat. Seperti tahi lalat, bentuk mata, warna rambut, dll. Selain itu saya juga mengingat orang dari suara, gaya berjalan, gaya berpakaian, dll.


Kurang peka terhadap bebauan, membuat saya lebih peka dalam mengingat sesuatu dari suara yang didengar, mengingat sesuatu dari tempat, hari, tahun, bahkan cuaca saat kejadian, akan tetap diingat.


5. Membangun mood dari dalam.

Mood saya tidak terpengaruh aroma. Saya akan termotivasi dan bersemangat melakukan 

Hal lain yang saya hindari adalah memilih parfum. Saya selalu meminta bantuan suami untuk memilihkan parfum maupun pewangi pakaian. Biasanya dia akan memilihkan beberapa varian, lalu saya coba satu persatu. Saya akan memilih parfum yang soft, aromanya tidak terlalu kuat / tidak menyengat.


6. Menjaga nafsu makan.


Meski indera penciuman tidak peka, saya tidak mengalami masalah dengan nafsu makan. Saya tetap bisa menikmati makanan dengan lezat.


Salah satu cara agar nafsu makan tetap terjaga ialah dengan membaca review dari penikmat makanan. Saya membayangkan lidah saya mengecap makanan lezat itu, lalu mencobanya sendiri saat ada kesempatan. 


Seperti review tentang kimbap enak di Malang ini, tanpa menghidu aromanya saja saya langsung pengin mencoba.



2. Bagi orang di sekitar penyintas

Bagi orang-orang di sekeliling penyintas anosmia, ada juga beberapa hal yang perlu dilakukan, seperti,


1. Membantu penyintas melakukan aktifitas yang bisa membahayakan.

Suami, kakak, bapak, ibu, dan saudara-saudara saya sudah tahu jika saya anosmia parsial dan siap membantu. Contohnya ketika gas habis, mereka akan membantu memasangkan regulator gas.


2. Tidak merendahkan/membuli.

Bagi penyintas, anosmia bukanlah keinginannya. Anosmia, apalagi karena faktor genetik terjadi karena takdir Tuhan. Jadi, sangat tidak layak jika orang direndahkan karena kekurangannya tersebut karena setiap orang pasti punya kelebihan dan kekurangan.


3. Tidak menjerumuskan.

Beberapa aroma bisa sangat tidak sedap dan mengganggu. Aroma makanan yang baru saja dimakan, seperti petai, jengkol, durian, bahkan sea food yang lezat, bisa mengganggu orang lain yang menciumnya. Karena itu, jika mengetahui teman atau orang di lingkungan ada penderita anosmia, sebaiknya diberitahukan tentang bau tersebut. Jangan karena tidak enak hati lalu didiamkan yang berakibat penyintas dijauhi orang sekitar.


Demikian pengalaman saya selama menjadi penyintas anosmia. Ada suka ada duka, pastinya. 


Sukanya karena apapun mood dan aktifitas saya tidak terlalu bergantung pada hal lain di luar diri saya, seperti mood dan nafsu makan yang tidak mudah terganggu oleh bebauan. 


Dukanya karena tidak segera mampu menikmati keindahan ciptaan Tuhan seperti wewangian bunga dan berbagai macam aroma alam. Saya harus menciumnya dari jarak dekat sekali agar bisa merasakan sensasi dari aneka bebauan.


Selama ini tidak ada orang yang membuli saya karena anosmia. Saya hidup seperti orang normal pada umumnya dan hampir tidak ada yang menyadari kekurangpekaan saya terhadap bebauan. Saudara dekat yang mengetahui, kadang membuat candaan ringan tentang buta-bau ini, tapi saya tidak mempermasalahkannya.


Apapun itu, saya selalu bersyukur dengan apapun yang diberikan Tuhan. Jika Tuhan berkehendak, amat mudah menjadikan saya sempurna dalam segala hal. Namun, sebab kesempurnaan hanya milikNya, maka dengan ketidaksempurnaan inilah saya bisa selalu mengingat Sang Maha Sempurna.***

27 Maret 2020

Rumah Tsabita Kok Tutup?

Ini mungkin sepele buat orang lain, tapi tidak buat saya. Mengandung tapi tidak melahirkan, dan yang melahirkan orang lain? Ibu macam apa itu? Saya sih, tidak mau.

Eh, saya mau menulis tentang jahitan sebenarnya, bukan soal kandungan. Biasa, curhat penjahit.

Jadi ceritanya, awal Maret ini, pesanan jahitan saya tutup hingga Juni 2020. Namun, seperti biasa, masih saja banyak sekali orang yang ingin menitipkan jahitannya. Ada yang pelanggan lama, banyak pula pelanggan baru.

Ya, saya sih senang. Itu artinya banyak yang percaya dengan kemampuan saya dalam hal membuat pakaian jadi. Masalahnya, saya sedang kerja sendiri. Asisten tak datang lagi selepas cuti melahirkan. Saya tak bisa memaksa karena prioritas dia pastilah untuk mengurus keluarga kecilnya. Mencari asisten baru pun tak mudah.

Yang kadang bikin jengkel itu banyak yang memaksa. Saya orangnya kan nggak tegaan. Jadi sejak Maret ini saya harus tega menolak pesanan meski mereka memaksa. Saya bilang, nanti saja bulan Juni datang lagi. Mereka bilang ini baju buat lebaran. Yah, gimana dong.

Saking memaksanya, ada yang ingin dipotongkan kainnya saja. Kira-kira begini dialognya:

"Ya udah, kalau mbak nggak bisa jahitnya, dipotongin kainnya aja deh mbak. Nanti yang jahit adik saya, atau si anu, atau si inu, kan banyak yang pada bisa njahit tapi mereka nggak bisa motongnya."

Jawaban saya?
"Hello ... bukan saya tukang potong bayaran ya."
Hehe .... Jawabnya dalam hati tapi.

"CUMA motong mbak."

Hah? Nggak salah?
Saya jelas menolak. Meski saya bisa, saya tetap menolak.
Sejujurnya saya berencana untuk tersinggung.


penjahit tailor rumah tsabita cikadu
padahal sudah diworo-woro di medsos

Begini.

Penjahit pribadi seperti saya itu sebuah profesi. Penjahit mengerjakan semua hal berkaitan membuat pakain jadi dari awal sampai akhir. Sama seperti pekerjaan lain.

Bayangkan pekerjaan kamu adalah pembuat film. Lalu tiba-tiba ada yang meminta mentahan rekaman syuting semua scene dan berkata: "saya beli rekaman mentahannya saja ya boss, kan saya bisa edit video sendiri." Waduh! reaksimu gimana coba?

Contoh lainnya jika pekerjaanmu penulis yang hendak menerbitkan buku. Trus ada yang pengin bayar versi PDF-nya, misalnya : "aku bayar soft copy-nya aja ya, aku mau print sendiri di rentalan komputer." Kebayang nggak reaksi penulisnya gimana?

Sama seperti pekerjaan lain, hasil karya seorang penjahit pun saya anggap anak sendiri. Sulit membayangkan kamu mengandung anak tapi yang melahirkan orang lain. "Lu bikin anak dong, ntar gue bayarin. Gue nggak bisa nih. Kalo ngelahirinnya mah gue bisa." Nah Loh!

Halah! Tinggal bilang tak mau motong kain saja kok. CUMA MOTONG KAIN TOK.

Eh, saya bukan lebay ya.

Saya hanya mengeluarkan unek-unek saja. Ini menggambarkan persepsi orang. Tentang begitu mahalnya harga sebuah ilmu, tapi begitu dianggap 'sepele'nya profesi penjahit.

Menjahit sudah mendarah daging dalam hidup saya. Persoalan memotong kain itu nggak bisa dibilang CUMA lho.

Ini tahapan seorang penjahit sampai tiba waktunya memotong kain yang orang bilang CUMA itu:
  1. Sebelum memotong kain, seorang penjahit harus bisa mengukur ukuran badan customer dengan tepat untuk membuat pola.
  2. Penjahit harus menganalisa model yang diinginkan customer dan mengerahkan seluruh imajinasinya. Jika customer bilang model terserah penjahit, artinya penjahit harus siap mengerahkan dua kali lipat kemampuan berimajinasinya untuk membuat model yang sesuai dengan costomer.
  3. Menghitung dan memperkirakan kebutuhan bahan, termasuk menyiasati jika bahan yang pas-pasan.
  4. Membuat pola bagian-bagian pakaian hingga partikel terkecil dan aplikasinya.
  5. Menempatkan pola pada kain dengan menyesuaikan motif, model dan HARUS PAS.
  6. Setelah semua tahapan di atas, baru deh bisa memotong kain. Nggak bisa diloncati begitu saja langsung potong kain.

Nah, jika tahapan untuk sampai memotong kain saja sudah sepanjang itu, apa masih bisa disebut CUMA?

Eniwey, ini cuma curhatan subyektif saya saja sih. Bukan hal yang luar biasa dan bukan hal penting untuk diperhatikan semua orang. Faktanya, masih banyak penjahit yang mau dibayar untuk memotong kain saja. Lumayan, katanya. Tak perlu menjahit tapi dapat uang. Ada yang mau dibayar 30 ribu, 25 ribu. Katanya sih, karena CUMA motong kain.

Yah, uang memang menggiurkan. Lebih menggiurkan lagi kalau mereka tahu jasa pembuat pola di factory itu gajinya sudah 2 digit. Angka depannya. Angka belakangnya 6 digit.

Untuk sekelas konveksi skala sedang, untuk satu pola dibayar dengan upah 1,5 juta. Satu bulan bisa lebih dari dua puluh pola bisa diorder.

Nah, kalau penjahit pribadi seperti saya? Bikin pola itu GRATIS. Cutomer cuma bayar ongkos jahit saja! Masih tegakah nyuruh CUMA motong kain?

Jadi hikmahnya apa?
Nggak ada.
Hanya mau bilang, kami tutup pesanan jahitan sampai Juni. Nanti, bulan Juni silakan pesan lagi yang banyak. Bisa pula pesan jahit online melalui nomor WA 0877 1166 2757.

Kalau job rias pengantin dan wedding tetap terbuka selebar-lebarnya ya. Banyak gaun baru dan ada dekorasi baru juga yang keren banget lho. Wedding khusus untuk wilayah se-kabupaten Pemalang dan sekitarnya.

Oh ya, Rumah Tsabita juga ada toko yang menyediakan alat-alat jahit dan craft. Sementara ini toko baru melayai penjualan offline. Ada beberapa pesanan online, tapi karena keterbatasan sumber daya, jadi saya stop sementara. ***


Curhatan ini ditulis di antara waktu istirahat yang menenangkan dan melenakan alias bikin mager. Wkwkwk ...


19 Maret 2020

Drama di Balik Pesanan Gaun Pengantin Pertama

Selalu ada yang pertama saat mengawali segala sesuatu. Biasanya, apa-apa yang pertama itu berkesan mendalam. Cinta pertama, ciuman pertama (eh!), malam pertama (ehe!), dll, memberi kesan tak terlupakan.

Biasanya yang pertama itu selalu excited tapi malu-malu, ragu, belum berpengalaman, kadang salah-salah sedikit. Ya ... namanya juga sambil belajar ya kan?

Makanya saya sering mengabadikan momen pertama lewat tulisan. Saya pernah menulis tentang piala pertama menang lomba merangkai hantaran uang.

Dari piala pertama itu menyusul piala lomba make up wedding, juga yang pertama.

Ada juga tulisan tentang kokedama pertama yang pernah saya bikin.

Dan ada tulisan pertama di blog ini yang belum saya hapus sampai sekarang. Haha!

Kali ini saya ingin berbagi pengalaman tentang gaun pengantin pertama yang saya buat.

Meski sudah terjun di dunia jahit menjahit dan mendesain baju sejak 2006, saya baru mulai berani membuat gaun pengantin pada tahun 2017. Butuh belasan tahun ternyata untuk membuat satu lompatan penting. Setidaknya penting buat saya, hehe ....


jahit gaun pengantin
gaun pengantin yang pertama saya buat

Awalnya ....


Saat itu saya mendapat job wedding lumayan besar (besar buat saya) dan lokasinya cukup jauh. Tak mau mengecewakan klien, saya mencari patner dan vendor terbaik yang bisa mendukung job saya ini.

Semua yang dimau oleh klien, saya cari sampai ke ujung dunia. (wkwkwk, lebay)

Klien satu ini memiliki ekspektasi dan selera tinggi. Saya pun menghubungi vendor yang sesuai. Baik dekorasi pelaminan, tenda, gaun pengantin, dll, saya usahakan persis seperti yang dimaui.

Waktu itu lokasi terdekat dengan rumah klien yang menurut saya bagus dan sesuai ekspektasi adalah dekorasi milik mbak Ungu. Kami mengobrol panjang lebar membicarakan kerja sama yang sesuai dengan permintaan klien. Singkat cerita, tercapailah kesepakatan harga.

Sebelum pulang, mba Ungu yang sudah tahu saya di rumah juga menjahit, memesan gaun pengantin untuk job-nya bulan depan. Saya mengamati model gaun yang dipesan cukup sederhana. Saya pun menyanggupi pesanan mba Ungu. Ini pesanan gaun pengantin pertama. Saya berjanji dalam hati tidak akan mengecewakan pemesan.

Ternyata, kerja sama saya dengan Mba Ungu harus gagal karena klien wedding saya tak menyanggupi harga yang saya ajukan. Klien ini kemudian menetapkan harga standar yang biasa saya tangani, bukan yang mewah seperti ekspektasi semula.

Ya memang begitu kan, pesanan selalu disesuaikan harga. Jika semula klien ingin dekorasi yang mewah namun tak sanggup dengan harganya, ya mentok-mentoknya akhirnya ambil paket yang sedang saja. Saya memakai vendor dekorasi milik Mba Juji Limbangan yang harganya tak terlalu tinggi. Dekorasinya sudah cukup bagus untuk standar pemukiman pedesaan.


Kerjasama Job Gagal, Order Gaun Tetap Jalan


Balik ke pesanan gaun pengantin yang pertama saya buat, meski kerja sama WO dengan Mbak Ungu batal, tapi pesanan gaun tetap dilanjutkan.

Mba Ungu menyediakan kain jaguar dan bordir siap tempel untuk segera saya kerjakan. Namun, model gaun yang dibuat sangat berbeda dengan model yang sebelumnya. Mba Ungu justru mengirimkan gambar model baru, dua gaun sekaligus!

Cukup sederhana sebenarnya. Namun, karena tak seperti perkiraan saya sebelumnya, saya merasa ragu dengan pesanan gaun pertama ini.

Bagiamana jika mba Ungu kecewa? Bagaimana jika salah potong, hasil akhir tak sesuai ekspektasi? Bagaimana saya akan membuatnya, sedangkan saya pernah membuat gaun pengantin sebelumnya?

Kira-kira pertanyaan-pertanyaan inilah yang berkecamuk dalam otak.


Untung Ada Mas Iwan


Saat bimbang antara membatalkan pesanan atau lanjut dikerjakan, saya teringat dengan salah satu penjahit senior yang sudah lama malang melintang dalam hal pembuatan gaun pengantin dan gaun pesta. Namanya mas Iwan.

Rumah mas Iwan hanya berjarak sekitar sepuluh meter dari rumah saya. Namun, sehari-hari Mas Iwan bekerja di sebuah butik di Bandung.

Selama mengerjakan gaun pengantin pertama ini, saya tak putus berkonsultasi dengan mas Iwan melalui WA. Beliau baik sekali membagikan ilmunya secara cuma-cuma.

Ah, jika diingat-ingat, saya beruntung dipertemukan dan dikelilingi banyak sekali orang-orang baik yang mendukung pengembangan diri ini. Tanpa pamrih! Salah satunya sese-mastah yang mau membimbing saya nge-blog hingga saat ini setelah saya rayu-rayu di Facebook. (Hehe ... matur nuwun sanget mas suhu).


Drama Pun Dimulai ....


Setelah dua minggu mengerjakan pesanan gaun pengantin pertama ini, selesailah sudah kerja keras beberapa hari ini. Saya menghela napas lega begitu pesanan siap diantar.

Ternyata, meski gaun pengantin sudah sampai di tangan Mba Ungu, cerita belum berakhir. Ada sedikit drama yang membuntuti. (jeng jeng jeng ... backsound mencekam)

Saya yang begitu senang dan excited berhasil menyelesaikan gaun pengantin pertama ini dengan penuh perjuangan, mem-posting salah satu hasil karya tersebut di beranda Facebook. Selang beberapa menit, ternyata ada beberapa pesan masuk yang menginginkan gaun sejenis yang saya terima melalui inbox messenger.

Ada yang bertanya harga, ada yang bertanya butuh bahan berapa meter, ada juga yang langsung memesan. Saya makin semangat dong untuk berkarya lebih bagus lagi.


'Dilabrak' Mba Ungu


Selang satu jam sejak foto gaun mba Ungu saya unggah, saya dihubungi oleh mba Ungu malam-malam. Intinya, mba Ungu ingin saya menghapus foto gaunnya dari Facebook.

Saya pun meminta maaf karena memasang foto pesanannya tanpa izin. Mba Ungu memaafkan saya dan berterima kasih saya tak mengunggahnya lagi sampai ia izinkan. Foto itu lalu saya hapus selang satu jam sejak diunggah.

(Sejak saat ini saya sekarang selalu meminta izin jika ingin mengunggah hasil-hasil karya. Padahal karya sendiri, tapi karena sudah ada akad jual beli, jika pemiliknya tak berkenan maka tidak akan saya unggah).


Upah Tak Sesuai


Sampai dua minggu gaun itu sampai di tangan mba Ungu, saya belum menerima upah yang saya minta. Saya tak mau ngawur saja menetapkan ongkos jahit gaun pengantin. Lagi-lagi mas Iwanlah yang saya ajak berdiskusi mengenai masalah upah alias ongkos jahit.

Mas Iwan memberikan standar upah jahit yang biasa ia terima untuk membuat gaun seperti model yang saya buat. Tarifnya sangat tinggi menurut saya. Ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Tentu karena tingkat kerumitan dan ketelitian selama membuatnya itulah, yang membuat upah jahit gaun pengantin menjadi sangat mahal.

Karena saya tinggal di desa dan ini gaun pengantin pertama yang saya bikin, maka saya memberanikan diri meminta upah sepertiga dari harga tarif mas Iwan. Jika mas Iwan biasa menerima upah jahit gaun sebesar Rp 1.500.000,-, saya meminta upah Rp 500.000,- saja pada mba Ungu. Untuk dua gaun maka totalnya menjadi satu juta rupiah.

Tak seperti harapan, mbak Ungu keberatan dengan ongkos jahit yang saya minta. Menurutnya upah sebesar itu standar Jakarta.

Saya ngotot tak mau dibayar rendah. Menurut saya itu sudah sesuai dengan hasil jahitan saya yang halus. Dua minggu saya tak mengerjakan pesanan lain dan hanya mengerjakan gaun pengantin ini saja!

Seharusnya dua minggu yang saya lewatkan untuk mengerjakan pesanan lain itu sudah bisa menghasilkan uang sebanyak 2 juta lebih. Sekedar info, dalam satu hari, paling minim saya bersama asisten bisa mengerjakan dua potong pesanan dengan tarif paling rendah 150 ribu rupiah.

Mba Ungu rupanya menggunakan kelemahan saya untuk menekan harga. Menurutnya dengan saya memajang foto di fb, akan menurunkan standar bagi WO-nya yang elit. Job-job-nya semuanya adalah job besar. Ia tak mau ketahuan jika gaun yang dipakai pengantin-pengantinnya 'hanyalah' hasil karya penjahit kampung seperti saya. Itu kesan yang saya tangkap dari Mba Ungu.


Menyerah


Lelah berdebat dan mendengar berbagai argumen serta alasan mba Ungu yang tak mau memberi upah yang saya minta, saya pun menyerah. Terserah saya mau dikasih upah berapapun saya terima, saya bilang. Mba Ungu memberikan uang Rp 600.000,- untuk dua gaun yang saya kerjakan selama dua minggu. Saya menerima upah itu pasrah. Mungkin rizki saya memang segitu.


Pesanan Berikutnya


Selesai acara job wedding yang mengenakan gaun pengantin buatan saya itu, Mbak Ungu mengirimkan foto yang boleh saya unggah di fb. Kiriman foto itu disertai dengan pesanan gaun pengantin lain.

Saya tak langsung menolak pesanan Mba Ungu yang kedua ini. Saya hanya beralasan bahwa untuk dua bulan ke depan pesanan jahitan sudah penuh, jadi belum bisa menerima pesanan baru.

Katanya sih, Mba Ungu rela menunggu sampai dua bulan lagi. Namun, saya terlanjur kapok berurusan dengannya. Jadi saya menolak menghubunginya lagi.

Bagi saya, jika pemesan masih mau datang kedua kali pada saya, artinya karya saya memuaskan. Itu sudah cukup buat saya. Terlepas dari drama ini itu yang sempat mewarnai.

Tentu saja, Mbak Ungu balik pesan lagi, ya ... di mana lagi ada jahit halus gaun pengantin yang mau cuma dibayar 300 ribu?

Tahu jika saya menolak pesanan, salah satu teman saya mengatakan jika mba Ungu menjelek-jelekkan saya di depan teman arisan perias yang saya ikuti. Yah, setidaknya saya tahu, wajah cantik dan ramah di depan, belum tentu cantik dan ramah juga di belakang. Hehe ....


Itulah sekelumit cerita alias drama di balik pesanan gaun pengantin pertama saya. Oh ya, Mbak Ungu ini bukan nama sebenarnya ya. Jadi tak perlu baper.

Berkat pengalaman pesanan pertama ini, banyak pelajaran yang saya ambil. Seperti menetapkan harga upah di awal pesanan. Juga memberi pelajaran buat saya untuk berhati-hati dalam bekerja sama dengan berbagai macam karakter orang.

Dan terutama sekali, dari gaun pertama inilah, lahir gaun-gaun pengantin berikutnya yang akan saya tulis pada judul lain.***


pesanan pertama jahit gaun pengantin
gaun lain yang dipesan mbak Ungu warna abu-abu



02 Maret 2020

Menulis untuk Tetap Waras

 writing to self healing

Orang bilang, kalau sedih ya nangis saja.
Kalau lelah istirahat secukupnya.
Kalau marah keluarkan sewajarnya.
Kalau kangen ya ketemu.
Kalau sayang tinggal bilang sama orangnya.
Masih banyak hal lain yang lebih penting untuk dipikirkan dan memerlukan banyak energi.

Kenyataanya, praktek kadang tak sesuai dengan teori.

Ada banyak kesedihan yang tak cukup terobati dengan menangis. Mungkin ada luka hati yang berlarut-larut dan tertancap terlalu dalam hingga sulit dilupakan. Ibaratnya, tangis darah pun tak cukup mengobati luka hati. Mana ada tangis darah di dunia nyata?

Dan lelah seperti apa yang bisa hilang hanya dengan beristirahat? Kadang fisik bisa menipu. Seperti senyum seorang ibu yang begitu sumringah di depan anak-anak sementara jiwanya lelah luar biasa.

Begitu pula dengan kemarahan.  Tak semua kemarahan bisa dikeluarkan dengan mudah. Menimbang kerugian yang bisa timbul, seringkali kemarahan hanya bisa dipendam dalam-dalam. Menumpuk, menunggu saatnya meledak.

Tentang kangen. Entah mengapa Tuhan menciptakan satu rasa itu. Keinginan untuk bertemu dan terus terhubung dengan seseorang yang begitu menggebu. Namun, ada rasa kangen yang harus dibunuh agar hidup ini tetap berjalan sesuai koridor sebagaimana mestinya.

Bagi yang pernah mendengarkan lagu-lagu Didi Kempot dan mengerti liriknya, harus mengakui bahwa perkara seperti sayang dan kangen tak bisa dibilang sederhana. Hampir semua lagu Didi Kempot bertemakan patah hati. Cocok bagi yang memendam rasa sayang tapi tak mungkin tersampaikan.

Ya, move on memang tak semudah membalik telapak tangan.

Pada akhirnya, nasihat dari Gus Mus lah yang paling cocok : jalani hidup ini dengan prinsip sak madyo. Sak madyo artinya pertengahan, tak terlalu serius namun juga tak terlalu abai.

Bisa disimpulkan hidup sak madyo adalah menempatkan persoalan hidup sesuai porsinya saja. Tidak berlebihan.

Meski lagi-lagi: praktek tak pernah sesederhana teori.
Ah ..., terserah Tuhan saja bagaimana kehendakNya.***


02 November 2018

Wajah Cinta Penjahit Muda-Bagian 3


SERAGAM BARU





Ada banyak hari libur dan tanggal merah di bulan Mei dan Juni ini. Buat anak-anak hal ini menyenangkan. Entahlah, bahkan saya sendiri jika ada libur tanggal merah serasa hati berbunga-bunga. Seperti bonus pula bagi para Mamak untuk libur sejenak dari rutinitas bergelut mempersiapkan buah hati ke sekolah sejak pagi buta. Agak sedikit santai lah kalau hari libur. Masak sarapan, nyuci baju, menyiapkan air hangat untuk mandi, dll, agak siang sedikit tidak mengapa, tidak terlalu terburu-buru seperti hari aktif sekolah setiap harinya.


Ada cerita menggelikan dihari Sabtu ini. Pekan kemarin, libur tanggal merah jatuh pada hari Selasa tanggal 1 Mei memperingati Hari Buruh Nasional. Pekan ini libur tanggal merah jatuh pada hari Kamis, tanggal 10 Mei memperingati Kenaikan Yesus Kristus. 


Hari Jumat kemarin, anak-anak masuk sekolah seperti biasa dengan memakai seragam pramuka lengkap. Entah keenakan kebanyakan libur atau kurang komunikasi, kupikir hari Sabtu ini libur lagi. Kumasukkan saja seragam pramuka kedua anakku ke dalam mesin cuci saat hari masih gelap seperti biasanya. Ketika anak-anak terbangun, mereka mencari-cari seragam pramuka hendak bersiap-siap untuk mandi dan berganti pakaian. Sontak saja aku dan Mas Jo kaget.


“lho, hari ini ngga libur tho?” Tanya Mas Jo

“Nggak, Ayah…” Tsabi dan Rafi nampak khawatir.

Ya ampuun…seragam terlanjur basah sedang dicuci. Seragam pramuka cuma ada satu. Bagaimana ini? Hari masih gelap, belum ada toko pakaian yang buka. Menunggu toko buka artinya anak-anak akan terlambat ke sekolah. 


Aku mulai mengais-ngais ingatanku, mencoba mencari dimana dulu menyimpan seragam pramuka lama. Kardus-kardus di kolong dipan dibuka satu persatu. Akhirnya satu rumah sibuk mencari-cari seragam lama, tidak ada yang sempat menyiapkan sarapan, apalagi meneruskan mencuci baju. Ah, mereka bisa sarapan di kantin nanti. Seragamnya gimanaaa…?


Tsabi masih beruntung, dia memiliki cadangan baju atasan pramuka di lemari, tinggal mencari roknya saja. 


Satu potong baju siaga yang ditemukan dalam kardus baju lama, bekas milik Tsabi yang kekecilan, buru-buru kuganti tanda bet-nya (badge) dengan bet laki-laki untuk dipakai adiknya, Rafi. Tinggal mencari celananya. Beruntung ibunya penjahit dan menjual bet pramuka lengkap, bisikku dalam hati. 


Sementara aku menjahit bet, Mas Jo mencari bantuan kesana-kemari kerumah saudara-saudara yang memiliki anak laki-laki untuk meminjam celananya, barangkali ada celana kekecilan yang bisa dipakai Rafi.


Tapi kabar yang kuterima ketika kembali, membuatku semakin geli-geli bingung. Mas Jo bilang mereka juga sama, sedang kebingungan karena seragam pramukanya juga dicuci! Kalaupun ada cadangan, pastilah dipakai sendiri. Waduh! Semua orang menjadi pelupa hari ini?


Akhirnya aku memutar otak. Aku ingat Rafi punya kostum polisi yang dipakai pada karnaval Agustus tahun lalu. 


“Rafi pakai celana polisi ini saja ya? Kan warnanya juga cokelat, sama dengan seragam pramuka.” Kubujuk si bungsu agar mau memakai celana polisi.

“Tapi kan panjang, Mi…” Rafi merengut.

“Ngga papa, boleh pakai celana panjang. Temen Rafi kan ada juga yang pakai celana panjang.” 


Rafi makin merengut tanda tidak mau memakainya. Matanya berkaca-kaca.

Duh, makin bingung saja ini mamak, anak-anak baru memakai baju atasan saja, dan hari makin beranjak siang. 


Dari kardus yang lain Mas Jo menemukan rok coklat lama milik Tsabi. Saat dipakai, ternyata sudah sangat pendek dan kecil walaupun sudah diturunkan ke pinggul (tentu saja). Kubujuk agar mau memakainya sehariiiii ini saja. Pakai kaos kaki yang panjang ya, pesanku. Celana short-nya sedikit terlihat dan Tsabi tampak sangat tidak nyaman. Tapi apa boleh buat. Masalah Tsabi kuanggap sudah selesai.


Giliran Rafi. Aku harus cepat! Kuambil inisiatif, celana panjang polisi ini harus dipermak menjadi celana pendek seperti yang Rafi mau, jika tidak ingin dia ngambek seharian gara-gara masalah ini.


Aku bergegas ke ruang jahit. Kudedel dengan cepat, kulipat-lipat (lima lipatan selebar 5 cm) lalu kujahit. Sengaja tidak kupotong agar nantinya sewaktu-waktu bisa dibuka lagi menjadi celana panjang. Biasaaa…mamak-mamak pelit selalu begitu, dalihnya adalah : berpikir ke depan. Biar bisa dipakai lagi karnaval nanti kostum polisinya. Haha!


Dan… sret sret sret. Taraaa…! Jadilah celana pramuka pendek! Beruntung ibunya tukang jahit, lagi-lagi aku bergumam sendiri.


Rafi tersenyum senang. Mereka siap berangkat walau Tsabi tetap terlihat kurang nyaman dengan roknya.


Sejurus sebelum berangkat sekolah, Paman Kuat yang juga guru SD datang membawa sesuatu. Ternyata rok pramuka baru! Masih dengan merek dan bandrol harganya! Pasti paman ikut hectic juga karena urusan seragam masuk mesin cuci.


“Ini rok baru. Dulu paman beli 5 tahun lalu untuk contoh saat sosialisasi seragam pramuka siaga yang baru. Atasannya dipakai Lantip. Roknya masih kusimpan. Ini buat Tsabi saja.” Terang Paman yang memiliki tiga orang anak laki-laki ini.


“Ya Alloh, 5 tahun lalu itu berarti waktu Tsabi dan Lantip kelas 1 ya. Roknya masih tersimpan rapi. Jangan-jangan persiapan berharap adiknya Lantip cewek, eh, malah cowok lagi….” Hahaha…kami semua tertawa. Saat dipakai Tsabi, ukurannya pas sekali! Rasanya lega dan bahagia…


Hari itu aku meneruskan mencuci baju setelah anakku benar-benar sudah berangkat ke sekolah dengan seragam pramuka ‘baru’ mereka. Tsabi dengan rok barunya yang dibeli Paman Kuat 5 tahun lalu, Rafi dengan celana polisinya yang kini disulap pendek menjadi celana pramuka ‘baru’.


Pelajaran buat mamak-mamak pelit seluruh dunia : jika kalian bukan penjahit, belilah seragam cadangan untuk anak-anak kalian. Jika kalian penjahit, sempatkan menjahit seragam cadangan untuk anak-anak, sebelum mengalami pagi yang kacau seperti ini!

****
19 September 2018

Wajah Cinta Penjahit Muda 2


PGRI


Yes! Dan akhirnya si PGRI itu mendarat dengan selamat ditangan empunya, yang bahkan tak tahu menahu kisah panjang dibalik pembuatan baju itu sehari kemarin.

Cerita awalnya dua minggu lalu, kakak perempuanku, Mba Sri minta dibuatkan batik PGRI. Belasan tahun mengajar sekolah dasar di ibukota, entah mengapa sampai sekarang ia belum punya batik PGRI. Berbeda dengan di sini yang menerapkan peraturan batik PGRI dipakai setiap hari Sabtu, di sana batik PGRI Kusuma Bangsa hanya dipakai setiap tanggal 25 tiap bulannya.
kakakku dengan batik PGRI pertamanya

Singkat cerita, seperti biasa, kesibukan ini itu selalu saja membuat jadwal jahitan molor-molor dan ngga bisa segera digarap. Hehe…lagu lama penjahit. Tapi beneran!  Molornya kerjaan tukang jahit, bukan karena disengaja dan didiemin begitu saja. Kerjaan seabreg-abreg yang ngga mungkin bisa dikerjakan oleh dua tangan dalam satu malam, ditambah lagi beberapa kegiatan lain yang diikuti, bikin hari-hariku sibuk.

Targetku waktu itu maksimal tanggal 20 baju harus sudah meluncur dan dipaketkan, dengan asumsi 3 hari sampai tujuan dan masih sempat dicuci setrika agar bisa dipakai tepat tanggal 25. Apa daya sampai tanggal 20 jahitan-jahitan lain yaitu seragam murid baru belum juga kelar.

Mas Jo sudah mencari bahannya di toko bahan terdekat di Randudongkal (yang jauhnya 2 jam perjalanan bolak balik dengan roda dua) tanggal 14. Ternyata di sana ngga ada bahan PGRI yang bagus seperti pesenan Mba Sri. Akhirnya ngga jadi beli. Niatnya sih, tunggu besok ke kota dan bisa cari di toko bahan langganan yang lebih lengkap. Ternyata hari-hari selanjutnya Mas Jo sibuk sebagai koordinator lapangan even Grebeg Pasar di desa yang akan dihadiri Bapak Bupati. Akupun sibuk kejar target seragam sekolah. Lagi pula ngga mungkin banget  aku berani cari bahan sendiri ke kota. Wkwkw…

Tanggal 18 hari Rabu Mas Jo makin sibuk karena pas hari H kedatangan pak Bupati. Aku pun ikut-ikutan sibuk ambil gambar dan bahan tulisan untuk berita di website desa. Praktis satu hari ini kami tak mungkin bisa cari bahan PGRI. Besoknya hari Kamis mas Jo kembali aktif kerja di bale desa. Baru pada hari berikutnya selepas sholat Jumat Mas Jo berangkat ke Pekalongan untuk beli bahan.

Hingga jam 7 malam, Mas Jo belum pulang juga. Saat dia telpon, kupikir dia mau bilang sudah sampai manaaa gitu lagi jalan mau pulang. Eeh,,, ternyata dia masih di toko bahan di Pekalongan, dan nanya bahan PGRI yang bagus ngga ada, jadi beli ngga yang bahan biasa? Laahh,,,jauh-jauh sampai Pekalongan, ya kali, mau pulang dengan tangan kosong? Lagipula ngga ada waktu lagi buat nyari-nyari bahan lagi.

Inipun sebenarnya masih mikir juga buat nggarapnya, belum lagi maketinnya ke Jakarta, harus super kilat khusus satu hari harus sampai!! Besok sudah hari Sabtu kantor pos dan jasa pengiriman paket pasti tutup. Otomatis nunggu hari Senin. Sedangkan tanggal 25 hari Rabu Si PGRI ini mau dipakai….oh my God!

***

Aku ketiduran menunggu Mas Jo pulang. Saat jam 3 malam terbangun, kucari-cari Mas Jo ngga ada di rumah. Motornya pun ngga ada.

Dengan panik kuambil hape dan mendapati tiga pesan chat WA dari Mas Jo yang isinya :
Chat jam 20.59 : “Mi, linden motor putus”
Chat jam 21.00 : “Ini mas minta tolong jemput teman banser, karena bengkel-bengkel sudah tutup semua”
Chat jam 00.13 :“Mas nginep di Bodeh di rumah teman, besok baru nyari bengkel buat ganti linden”

Masya Alloh, aku ngebayangin Mas Jo mendorong motor jam malam-malam sendirian…entah di jalan di tengah hutan kah atau dekat rumah penduduk kah saat linden motor matic kami tiba-tiba putus? Dan aku bahkan ngga balas pesannya sama sekali karena ketiduran? Istri macam apa aku ini?

Dengan emosional aku masih saja menyalahkan Mas Jo dalam hati, masa iya berangkat dari rumah habis Jumatan, tapi kok baru beli bahannya maghrib? Pasti mampir-mampir dulu kan dia entah kemana. Jadi begini kan? Pulang malam-malam, kalo ada apa-apa susah sendiri kan? Coba kalo pulangnya ngga kemalaman, pasti bengkel masih pada buka, minimal dorong motor ngga kegelapan.

Rasa ini bercampur aduk dalam hati, antara menyesal tidak menanggapi chat WA saat Mas Jo lagi butuh dukungan ditengah kesusahannya, dan menduga-duga apakah kemarin dia sempet jatuh dan terluka apa tidak, tapi juga ingin menyalahkan dia kenapa mampir-mampir dulu, lalu pulang kemalaman. Terus, apa nanti bisa segera pulang lalu bahan PGRI-nya bisa segera kujahit? Akupun khawatir nanti bayar bengkelnya gimana? Sedangkan aku tahu uang yang dibawa ngga banyak karena hanya beli bahan satu potong saja.

Paling tidak aku cukup tenang ada kenalan yang bisa dimintai tolong dan bisa menginap sampai besok pagi. Mas Jo memang aktif diorganisasi Banser sebagai pengurus cabang sehingga punya banyak kenalan sesama anggota Banser hampir di seluruh Pemalang dan sekitarnya.

Sabtu pagi Mba Sri telpon via WA. Dia bilang sore nanti akan ada travel barang yang mau ke Jakarta.( Mba Sri dibuatkan meja dan kursi oleh Bapak. Sore ini meja kursi tersebut akan dibawa menggunakan travel barang). Dan,,, “Baju PGRI-nya sekalian nanti dibawakan ya, jadi ngga usah dipaketkan” Aku iyakan saja apa kata Mba Sri. Walaupun aku sendiri ngga yakin apa nanti sore Si PGRI ini bisa jadi.

Aku kirim pesan WA pada Mas Jo pada jam 06.01.
“Mas kemarin jatuh?”
“Ngga jatuh, Mi. tapi lindennya putus. Harus ganti yang baru.”
“syukurlah”

Aku masih menahan diri untuk tidak membebani pikiran Mas Jo tentang PGRI.
Hari Sabtu ini akhirnya menjadi hari yang saaangat panjang buatku. Pagi-pagi sekali ada edaran dari grup WA yang satu ke grup yang lain, sebuah pemberitahuan dari PLN yang menyatakan hari ini akan ada pemadaman listrik mulai jam 9 pagi sampai jam 5 sore.

Rasanya pikiranku makin ruwet saja. Aku masih punya tanggungan satu stel seragam OSIS punya orang yang harus selesai hari ini, dan masih harus bikin PGRI nya Mba Sri yang bahannya baru saja dibeli dan belum sampai ke rumah lalu sudah harus dibawa ke Jakarta dengan travel nanti sore, sedangkan listrik akan padam!!

Ya Alloh, yang akan terjadi terjadilah…. Aku pasrah. Tapi Mas Jo harus tahu. Aku paling ngga bisa menyimpan kegalauan ini sendirian.

Aku kirim pesan WA lagi
“Mas, nanti sore ada travel yang mau ambil kursi Mba Sri untuk dibawa ke Jakarta. Mba Sri minta baju PGRI-nya sekalian dibawa.” Jam 08.20, ngetik WA sambil ngebut jahitan seragam OSIS

“ini mas masih di Bengkel AHAS, ganti linden original ya.” Jawab Mas Jo
“kira-kira jam berapa ya bisa pulang? Kira-kira masih ada waktu buat nggarap bahan PGRI ini ngga ya Mas?”
 “Antrinya lumayan lama,Mi”
“ooh,,, ya sudahlah.” Aku pasrah sepasrah-pasrahnya. “yang penting Mas bisa pulang dengan sehat selamat.”
“iya”
“Mas masih pegang uang buat bayar bengkel?”
“tadi dikasih temen 100 ribu, katanya buat bantu bayar bengkel.”
Subhanallooh… Nyess hati ini rasanya.
“Alhamdulillah…”
“Mudah-mudahan cukup sama sisa uang yang kemarin Mas bawa.”
“ternyata masih banyak orang baik….”
Ah, pertolongan Tuhan selalu datang tepat waktu dengan cara yang tak pernah kita duga. Dalam hati aku berjanji, mudah-mudahan diberi kesempatan untuk membalas kebaikan orang tersebut, dan juga dimampukan memberi pertolongan pada siapapun yang membutuhkan.

Jam 08.28 detik-detik mau pemadaman, aku masih ngebut jahitan seragam OSIS. Yang tidak bisa pakai tenaga manual seperti obras dan lubang kancing, aku kerjakan lebih dulu. Kalau untuk menjahit, aku masih bisa mengandalkan meja mesin jahit dengan genjotan kaki. Jika nanti Mas Jo pulang saat mati lampu, aku masih bisa menjahit dengan mesin ini, tapi bagaimana dengan obras dan lubang kancingnya? Ah, entahlah…! Pikir belakangan saja!

Jam 10.25 Mas Jo memberi kabar
“Ini sudah jalan mau pulang”
Alhamdulillah…

Sampai jam segini, listrik masih menyala. Entah pemadaman listrik yang mulur waktunya, atau berita yang beredar itu cuma hoax, intinya aku bersyukur masih bisa lanjut menjahitttt….

***

Jam 12 siang Mas Jo sampai dirumah dengan selamat. Seragam OSIS sudah selesai. Listrik masih menyala dan aku sedang kedatangan tamu, mba Pratin, yang ingin tempah rias pengantin untuk bulan depan (Selain menjahit, saya juga membuka rias pengantin). Otak ini sudah ancang-ancang dengan si PGRI sesaat setelah mba Pratin pamit.

Setelah menyiapkan makan siang untuk Mas Jo, untuk anak-anak, lalu sholat dzuhur, jam 13.30 aku mulai memotong bahan. Langsung dijahit dengan segenap jiwa dan raga dengan target ashar nanti sudah selesai.

***

Jam 16.15 detik-detik Si PGRI akan dijemput travel, Mba Pratin datang lagi untuk memastikan jam dan tanggal anaknya menikah dan memperjelas lagi apa yang nanti diperlukan saat acara. 

Aku sudah selesai menjahit PGRI-nya dan tinggal menge-som bagian bawahnya sambil mengobrol dengan Mba Pratin. Saat itulah Mba Sri menelpon :
“Las, mobil travelnya sudah berangkat dari Majalangu mau ambil kursi. Bajunya sudah jadi kan? Bisa dibawa sekalian ya”
“Iya. Oke! Eh, tapi aku cari bahan yang bagus ngga ada, jadi ini adanya bahan polyester yang biasa” aku menjawab sambil tanganku makin cepat mengesom.

“Ada apa si Mba?” tanya mba Pratin melihat perubahan ritme gerakan tanganku yang makin cepat dan bertanya ingin tahu.
“Ini baju PGRI pesanan Mba Sri, mau dibawa ke Jakarta dengan travel. Katanya mobilnya sudah mau jalan kemari. Padahal bahannya saja baru datang tadi siang Mas Jo yang beli di Pekalongan.”
“Hah! Jadi yang tadi siang suami

mba datang itu itu baru pulang beli bahan?”
“Iya, berangkat kemarin, tapi nginep dulu karena linden motor putus jam 12 tadi malem. Dan baru nyampe tadi siang karena ke bengkel dulu. Tadi setelah jenengan pulang, jam setengah dua aku baru mulai motong dan ini jam setengah lima selesai”

Mba Pratin terbengong-bengong. Dia melihat sendiri Si PGRI ini melewati proses terakhirnya untuk di setrika. Lalu sejurus kemudian dua orang dari jasa travel datang mengangkut kursi dan meja berikut juga Si PGRI yang dijahit secepat kilat ini. 
Selamat jalan PGRI-ku…

Jam 17.00 aku menarik nafas legaaa…. Tinggal membersihkan diri, lalu mempersembahkan sisa waktu hari ini buat Mas Jo dan anak-anak tercinta.
Keesokan paginya Mba Sri mengabari kursi meja dan Si PGRI sudah tiba di Jakarta dengan selamat. Setelah dicoba pas ukurannya, setelah itu dicuci, untuk kemudian disetrika dan bisa dipakai tanggal 25 sesuai rencana.

Alhamdulillah….

***

08 September 2018

WAJAH CINTA PENJAHIT MUDA BAGIAN 1


MIMPI YANG TIDAK SELESAI
(pernah dimuat di Majalah UMMI edisi 08 Agustus 2013)


curahan hati penjahit....

Dulu aku punya mimpi menjadi penulis, tapi kemudian menguap entah kemana. Dan hari ini, ditengah malam ini, tiba-tiba mimpi itu menyergap. Ibarat sepeda yang lama tak digunakan, tangan dan jemari in terasa kaku. Minim pelumas. Aku hampir lupa bagaimana caranya menulis. Padahal, dulu, dulu sekali, tangan ini begitu lihai menoreh tinta, merangkai kata, mengurai cerita.
Bukan berarti dalam sepuluh tahun terakhir tangan ini diam tak berguna. Jika saat kuliah dulu tangan ini mahir menulis, kini bermetamorfosis menjadi ahli memasak, mencuci baju, menyapu dan mengepel lantai, mengganti popok Si Kecil, serta memandikan Si Kakak yang juga masih balita dan perlu bantuan orang dewasa dalam proses kemandiriannya. Hampir semua pernak-pernik pekerjaan domestik rumah tangga aman terkendali berkat kedua tangan ini. Bahkan secara mengagumkan, makin hari makin komplet saja keahlian-keahlian yang bisa dilakukannya.
Hal yang tak aku duga,salah satu keahlian itu kemudian menjadi profesiku. Dinamika ekonomi rumah tangga yang tak menentu mendorongku untuk memberdayakan keterampilan menjahit busana wanita. Sejak itu aku tenggelam begitu dalam pada kecintaanku akan mode dan busana. Aku bahkan nyaris tak membaca lagi buku dan majalah selain yang bertemakan fashion.
Seperti kata pepatah, tak kenal maka tak sayang, semakin aku mendalami dunia jahit menjahit, semakin aku menikmati dan menyenanginya. Sama halnya saat dulu aku jatuh cinta pada dunia menulis, seolah aku ingin berteriak pada dunia bahwa aku ingin menjadi seorang penulis. Namun  ketika menikah, kesibukan sebagai ibu rumah tangga menyita seluruh perhatianku. Tanpa kusadari, mimpi menjadi penulis mulai memudar, bahkan terlupakan, hingga akhirnya aku mantap menjadi seorang penjahit.
Tapi adakah yang salah dengan menjadi penjahit? Menjahit bukan pekerjaan mudah atau remeh temeh.
Menulis dan menjahit memang dua dunia yang berbeda, namun sejatinya banyak pula persamaannya. Menjahit menggunakan media kain, sementara menulis menggunakan kertas—atau sekarang lebih canggih, dengan computer. Tetapi esensinya sama. Keduanya sarana berekspresi, menuangkan ide, mengasah kreativitas, menciptakan inovasi, dan terutama menjadi media untuk berbagi manfaat dan kebaikan dengan orang lain.
Di titik ini, aku sampai pada satu kesimpulan. Aktivitas atau pekerjaan, jika dijalani dengan penuh cinta dan kesungguhan, akan membawa kenikmatan tersendiri. Walaupun itu tak sama dengan impian kita, namun kita harus tetap memberikan ruh pada setiap karya. Yang tak kalah penting, baik menjahit maupun menulis adalah buah karya tangan yang memerlukan dedikasi dan patut dihargai. ***