20 Agustus 2019

Kopi Di Mata Semua Orang

Tags

Emak n bapak: bismillah, tak telateni ngalap berkah e wong tani.

Fiersa Besari: hidangkan untuk kami para pecinta senja senji dan kopa kopi.

Mr. Crab : Uang! Uang! Itu uang!

Bernard Batubara : proses roasting harus benar agar citarasanya makin sempurna.

Me: akutu cape mikirin kamu! Ehehe...

Yang terakhir ini seriusan lho. Tau ngga gaes (bayangin saya lagi ngevlog) sebelum sampai di rumah, kami harus bersaing ketat lho dengan banyak pecinta kopi lain. Salah satu pesaing kami para petani kopi di kebun adalah luwak.

Luwak? Iya, luwak.
Hewan yang konon jauh di sana dipuja-puja karena bisa bikin harga kopi melejit berkali2 lipat, di mata kami petani kopi adalah hama. Saat kopi berhasil sampai di rumah, artinya kami menang bersaing dengan hewan satu itu.

Kau tau gaes, luwak hanya memakan biji-biji kopi terbaik. Jika berada di penangkaran, eek kopi-nya berubah jadi emas. Tapi di sini, masa iya, kami harus punguti satu persatu ceceran eek di balik semak2 itu?

Kalaupun iya, mana ada yang percaya itu beneran kopi luwak. Kami tak ada sertifikat penangkar luwak.

KOPI LUWAK


Tentang kopi luwak ini saya penasaran dan mencari-cari tahu. Secara namanya booming banget dan bikin ngiler kami para petani kopi kampung. Dari beberapa penjabaran (duileee, penjabaran) yang saya temukan, utas dari akun Twitter Laila Dimyati paling mudah dipahami.

Beliau adalah coffee green bean buyer & Q Grader. Profesi apa itu? Orang yang tugasnya menilai dan menyeleksi kopi, roasting profile, hingga cita rasa kopi yang bersangkutan. Tugas terpenting seorang Q Grader adalah mempunyai bahasa yang sama dalam menilai keseluruhan aspek kopi bagi pembeli dari dalam dan luar negeri.

Q grader bukan profesi main-main lho. Ada kursus-nya yang biayanya saja 9 jutaan. Badan yang berhak menyelenggarakan kursus juga ngga sembarangan, Coffee Quality Institute yang menunjuk International Coffee Consulting (ICC) yang bermarkas di Amerika.

Oke, lanjut ke kopi luwak.

Menurut beliau, 95%kopi luwak yang beredar di Indonesia kemungkinan adalah tipu-tipu alias bukan kopi luwak asli. Apa sebab? Permintaan kopi luwak yang luar biasa besar tidak seimbang dengan produksinya. Eek luwak itu ngga banyak lho, cuma 20% dari berat badan luwak.

Kopi luwak terbagi dua: kopi luwak liar dan luwak kandangan. Kopi luwak liar didapat dengan mencari eek luwak di alam liar terutama di kebun kopi. Nah, lho! Artinya luwak ini dibiarkan saja memakan kopi-kopi pilihan kami. Lalu siapa yang mau mungutin itu eek, ya? Masa saya?

Untuk kopi luwak  kandangan, produksi eek-nya diatur juga lho! Luwak hanya boleh diberi kopi dua kali dalam seminggu. Untuk omnivora yang gesit, makan kopi ini hanya sebagai dessert setelah menu makan hewan-hewan kecil.

Nah, saking menggiurkannya bisnis kopi luwak, banyak petani nakal yang membuat kopi luwak KW.  Ada yang membuatnya dengan cara mengupas kulit, lalu ditambahkan pisang muli, terus dijemur di atas terpal. Hasil tampilannya jadi mirip eek luwak.

Masih menurut Laila, ada pula petani nakal yang mencampur dengan kotoran sapi dan lumpur. Segitunya ya.

Gimana sih, rasa dari kopi luwak? Istimewa banget kah?

Menurut Laila sih, rasa asamnya rendah, pahitnya juga rendah, namun rasanya tidak istimewa. Kalo saya mah, kurang tahu macam-macam rasa kopi. Seleraku masih kopi sasetan. Wkwkwk....

Begitulah, kopi luwak kan katanya dibeli untuk ceritanya, bukan rasanya. Katanya gitu.

Lebih suka minum teh? Baca juga TEH MELISSA, "SI LEBAH MADU" KAYA MANFAAT


PIG

 
Itu baru tentang luwak ya Sist. Penggemar kopi lain di kebun masih ada. Ada nih, si Piggy yang nge-gemesin di game Angry bird, di mata kami petani kopi tuh bikin geregetan. Jengkel, tepatnya. Pohon dirusak, buahnya dimakan. Trus, ngga ada pekerja yg mau metik kopi di kebun yg ada si Piggy. Kesel ngga tuh?


Babi hutan alias celeng yang merupakan nenek moyang babi ternak, merupakan omnivor yang akan memakan segala yang ada. Ya tumbuhan, buah-buahan, kacang-kacangan, hingga umbi-umbian. Si Piggy ini juga doyan sama telur burung, bangkai, tikus, serangga dan cacing.


Haduuh... habis semua tanaman di kebun kalau ada si Piggy ini.


Si Piggy ini jika bertemu manusia dan merasa terancam , dia akan menurunkan kepalanya lalu menyeruduk kuat-kuat dengan taringnya. Itu yang jantan. Kalau Piggy betina, dia akan mengangkat kepala dan menggigit manusia yang dianggap mengganggu. 

Serem semua kaaan? Saya bilang juga apa? Mana ada pekerja yang mau metik kopi di kebun yang ada Piggy-nya?


HAMA LAIN

Segitu saja, masalah kami berebut kopi di kebun? Oh, tidaak. Jangan lupakan juga hewan-hewan penggemar kopi lainnya. Di antaranya bajing dan kelelawar yang juga pemakan buah-buahan. Belum lagi burung-burung yang suka mematuk-matuk biji kopi yang banyak dikerumuni semut dan ulat. Rontok lah itu biji-biji kopi walau burung tak makan kopi.

Kenapa hewan-hewan itu suka sama kopi? Mereka itu menyukai rasa manis pada lapisan kulit yang disebut mesocarp (mucilage/lendir) Waktu kecil dan masih suka ke kebun bersama Bapak, saya juga suka memakan kulit-kulit kopi ini. Rasanya benar-benar manis pada buah dengan kematangan yang ranum.

Ngga salah sih, mereka itu suka juga. Karena memang enak!


AKHIRNYA SAMPAI RUMAH


Begitu Sampai di rumah gaes, biji-BIJI kopi ini ngga langsung bisa jadi duid lho. Biji-biji kopi harus dijemur berhari-hari lamanya. Lamaaa... terasa berabad-abad. Dan beratnya pasti menyusut lima banding satu. Artinya 5 kg biji kopi basah hanya bisa jadi 1 kg kopi kering. Sampai-sampai para petani kopi kadang tak menimbang biji kopi yang masih basah Mereka akan menimbangnya nanti setelah menjadi biji kopi kering siap roasting.

Bapak dan emak saya juga seperti itu.

Setelah berabad-abad lamanya menjemur kopi hingga kering, buah kopi siap digiling untuk memisahkan kulit dengan bijinya.

Di kampung saya, saya akan membawanya ke penggilingan padi dengan ongkos berbeda dengan menggiling padi.

Dan... taraa...! Biji kopi sudah bisa diharapkan hasilnya. 


AKHIRNYA JADI DUIT


Setelah menjadi biji-biji kopi kering, biasanya emak saya akan langsung menjualnya ke pengumpul hasil pertanian yang banyak terdapat di kampung-kampung. Harga biji kopi terkadang mencapai Rp 40.000,-/kg. Namun, terkadang pula hanya mencapai Rp 19.000,-/kg.

Setelah dikurangi biaya ongkos pekerja yang memetik di kebun, yang jemurin tiap hari (biasanya sih dijemur sendiri buat ngurangin ongkos), lalu biaya penggilingan, barulah kami menghitung hasil panen kopinya. Sisa yang masih ada di kantong itulah hasilnya. 

Yah, namanya petani tradisional, hanya bermodal pengalaman, berpedoman 'ngalap berkah', berapapun hasil panen tetap harus disyukuri.

Alhamdulillah, masih ada sisa uang, masih bisa nyangrai biji kopi sendiri, digiling jadi bubuk kopi, lalu diseduh dan diminum sendiri. Tetap nikmat, walau capai peras keringat.

***
banyak digemari

hari pertama panen dan dijemur
hari ketujuh


mulai hari kesepuluh sampai duapuluh hari, sudah mengering dan siap digiling, tergantung cuaca

Blog tentang kecantikan, make up, fesyen, mode, dan budaya

6 komentar:

  1. Walau sudah sering baca tentang pengolahan kopi, baru kali ini baca artikel tentang pengolahan kopi yang pendekatannya personal. Ternyata untuk dapat kopi luwak asli itu ribet banget ya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ini tentang kopi sebelum jadi 'kopi'.
      Petani kopi jarang yang ngeblog kali ya Ka, hehe

      Hapus
  2. Kalo Teh dimata semua orang kayak gimana ya. Saya ga suka kopi. :p

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, kampung saya ngga ada kebun teh. Adanya cengkeh dan kopi.
      Teh daun kopi katanya enak juga. Tapi saya juga belum pernah nyoba sih. Masih suka teh biasa aja.

      Hapus
  3. Enak loh minum kopi. Enak dinikmati ketika sendirian atau bareng teman2 pas hang out. AKu sih suka yang pake krimer dikit dan ada gula dong biar ga pahit hehehe.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih, nah, penggemar kopi yang begini yang bikin para petani tetap semangat bekerja menanam, merawat, dan menghasilkan biji-biji kopi terbaiknya.

      Terima kasih juga sudah mampir.

      Hapus

Terima kasih sudah berkunjung. Ditunggu tanggapan dan komentarnya ya.