29 September 2019

Sepi


(Juni, 2019)
 
Hari sudah larut, hampir tengah malam. Badan pun terasa lelah tak karuan. Tapi mata ini begitu sulit terpejam.

Agaknya jam tidur yang sudah terlanjur bergeser sejak bulan ramadhan, belum kembali normal hingga jelang akhir bulan syawal. Padahal, pekerjaan yang menumpuk membutuhkan stamina yang optimal. Apa mau dikata, kantuk belum juga datang.

Memang, selama ramadhan, praktis waktu kerja lebih banyak saya habiskan malam hari. Membuat pola, memotong, mencetak pattern untuk tricot, furing, pelapis dan fiselin, dan menyiapkan tetek bengek keperluan menjahit lainnya.

Tak hanya itu, job rias bulan syawal yang sudah menanti pun, menyita waktu untuk persiapan jauh-jauh hari.

Alhasil hampir tiap malam saya begadang. Kebiasaan ini jadi terbawa sampai sekarang. Untunglah fisik saya cukup terbiasa, jadi tidak down atau drop dibawa kerja seharian.

Sekarang ini, walau tak ingin disibukkan dengan jahitan atau riasan, insomnia kembali datang. Seperti biasa, menulis selalu bisa jadi pelarian. Menumpahkan semua yang dirasa, mengurai keruwetan yang menyiksa, menyegarkan pikiran yang nelangsa.

Sendiri.

Sepi.

Hanya tik tak jarum jam menemani.

Ada yang hilang. Sehari kemarin saya masih bisa 'mengobrol' dengan seorang teman. Sekedar saling melempar canda, mengusir sepi. Teman mutual, kenal di dunia maya. Entah mengapa malam ini saya harus memikirkannya. Saya tak begitu mengenalnya, tapi pemikirannya dewasa. Itu yang saya suka.

Banyak teman akrab yang bisa diajak bercanda, dan mereka tahu benar saya memang suka bercanda. Saya tak perlu khawatir akan timbul bibit-bibit rasa. Istilah zaman sekarang baper atau terbawa perasaan. Tapi tetap saja saya lebih ingin mengobrol dengan orang itu.

Saya menceritakan tentang orang itu pada seorang teman, Indi namanya. Bisa dibilang Indi ini mutual friend dalam versi yang lebih personal. Aslinya dia adalah sahabat pena saya sejak SMP yang entah bagaimana dipertemukan Tuhan kembali saat sudah sama-sama tua setelah hilang kontak belasan tahun lamanya.

Indi bukan orang yang mudah menghakimi. Dia selalu berpikir positif. Saya memang butuh orang-orang positif di sekitar saya untuk mengimbangi pikiran yang kadang negatif.

Yang pertama saya tanyakan pada Indi adalah: apakah saya sedang berselingkuh jika memikirkan pria lain walau kami hanya berteman? Indi balik bertanya: "mengapa kamu tanyakan itu padaku? Tanyakan pada hatimu. Cukup luaskah hatimu menampung semua nama?" Tidak, jawabku. Hatiku memang luas, tapi ia hanya indah untuk disinggahi, bukan ditempati.

Memang seharusnya begitu, namun jika rasa itu datang sendiri, bagaimana harus menghadapi?

Tidurlah.
Bayangnya akan hilang seiring waktu. Seperti namanya, teman dunia maya, semu.

***

(September, 2019)
Ini perjalanan paling emosional bagi saya. Emosi ini terkuras habis. Raga saya bersama Mas Jo, tapi jiwa ini berkelana pada sosok lain. Sosok yang entah bagaimana sudah masuk begitu dalam, ke dalam hati.

Meski tak pernah kekurangan teman yang bisa diajak bercanda dan bergembira, tapi saya bukan orang yang mudah dekat dengan orang lain. Hanya orang-orang tertentu yang bisa menempati posisi spesial dalam hati.

Sosok itu salah satunya. Sosok yang terasa begitu dekat hingga sulit enyah dari pikiran.

Tapi saya bertekad akan melupakannya. Semua rasa yang saya punya untuk dirinya, biarlah menjadi kenangan.

Mas Jo tahu beberapa hari ini saya sedang gundah. Oleh karena itu ia mengajak saya pergi berdua, tanpa anak-anak. Saya menangis di balik punggungnya saat melaju di atas roda dua. Ia tahu saya menangis, ia tahu saya sedang bersedih. Kesedihan yang sangat ambigu dan sukar dipahami.

Mas Jo bercerita panjang lebar sepanjang jalan. Tentang kegiatannya, tentang teman-temannya, juga tentang rencana-rencana masa depannya. Saya bergumam menimpalinya seraya menyeka ingus dan air mata yang tak henti mengalir deras. Kami berputar-putar mengukur jalanan. Tak penting ke mana arah dan tujuan, asalkan tetap bersama Mas Jo, saya rela!

Ya Tuhan, apa yang terjadi? Apa yang sudah saya lakukan?

Saya merasa sinting dan hilang akal. Begitu gelap kabut yang menutupi mata ini. Membuat penglihatan tak lagi sempurna menangkap kebaikan. 

Bukankah jika melihat seratus keburukan pada seseorang bukan berarti satu kebaikannya menjadi hilang? Mungkin Mas Jo memang bukan pasangan sempurna sebagaimana saya pun jauh dari kata sempurna bagi dirinya. Namun, hari ini ia bisa memposisikan dirinya sebagai sahabat paling pengertian sedunia. Ia tak perlu bertanya, dan mungkin ia pun tak perlu tahu masalah ini. Tapi ia ada. Ia hanya perlu ada di samping saya.

Kami berhenti di tepi pantai. Mas Jo masih bercerita ngalor ngidul, sementara air mata ini mengering dengan sendirinya. Kami memesan es kelapa, pecel dan tempe mendoan hangat plus sambel kecap. Di bawah atap saung pinggir pantai, kami memakan semua makanan dengan kalap, sembari memutar lagu-lagu dangdut karaoke dari youtube. Sesekali kami bergantian bernyanyi; sayang, mundur alon-alon, aku takut, sampai berjoged goyang grepe-grepe dengan heboh. Tak peduli tatapan aneh orang-orang di sekitar.

Mas Jo tertawa. Saya tertawa, tapi juga ingin menangis. Ah, tetaplah seperti ini mas Jo...

Saya berjalan di bibir pantai. Sendiri, sementara Mas Jo berpamitan sebentar mengobrol dengan seorang kawan. Mas Jo tahu saya juga butuh waktu untuk sendiri.

Ah, sepi lagi. 

Kutatap ombak yang datang dan pergi. Bergemuruh, datang sekonyong-konyong dalam gulungan gelombang yang cukup besar. Lalu ketika sampai di tepian pantai, ombak itu menjelma menjadi riak-riak kecil yang liris dan manis. Kemudian... lenyap. 

Apa perasaan ini juga akan seperti itu pada akhirnya?

Belum sempat kucegah, tetes bening kembali turun di pipi. Buru-buru kuseka sebelum jatuh tetes berikutnya. Cukup. Ini sudah berakhir. Saya merasa cukup siap untuk mengabaikan dan membuang apapun rasa yang tumbuh di hati ini untuk sosok itu. 

Senja menjelang. Kami pun pulang. 
Dari balik punggung, rintik air mata kembali menitik. Tangis ketidakberdayaan, saat menyadari sesuatu yang semu ternyata bisa menjadi nyata, tapi saya memilih membiarkannya tetap semu seperti adanya.

Selesai.
Saya, Mas Jo, dan dirinya, menyelesaikan semua ini sebagaimana sportifitas orang dewasa.
Dan begitulah kisah itu berakhir.***

Blog tentang kecantikan, make up, fesyen, mode, dan budaya

2 komentar:

  1. Bingung, kadang kita bisa alami rasa tidak puas akan suatu hubungan lalu mengalihkan perhatian pada arah lain yang barangkali bisa membuat nyaman atau mengisi hati.
    Namun cukuplah karena diri harus tahu arah, jangan sampai mengorbankan keluarga demi rasa yang barangkali semu.
    Biarkan segalanya menemukan muara agar kembali pada alur yang semestinya. Ini menyangkut pilihan. Jangan sampai ada yang dikorbankan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya. Cukuplah setiap nama menempati hati dan memori pada porsi yang wajar.

      Nikmati sewajarnya tanpa kehilangan kendali dan jati diri.

      Hapus

Terima kasih sudah berkunjung. Ditunggu tanggapan dan komentarnya ya.