03 Juni 2018

SANAKAN

Tags



SANAKAN
Oleh : Lasmicika

Kupacu Baleno-ku melewati angka 120 km/jam. Jalanan sepi. Gelap. Tentu saja, penunjuk waktu digital menunjukkan angka 01.33 dini hari. Teringat sekilas berita-berita seram yang menghias layar kaca, tentang banyaknya korban kecelakaan saat melewati tol Cipali ini. Ah, siapa yang peduli. Mungkin mereka hanya pengendara yang kurang beruntung. Kebetulan saja malaikat pencabut nyawa melaksanakan mandat Tuhan saat mereka sedang berkendara di sini. Bahkan jika umurku tercatat hanya sampai di sini malam ini pun, siapa yang akan peduli?
Oh, tidak! Tentu saja aku peduli. Esok adalah hari penting bagiku.
Tanpa sadar aku mulai tersenyum-senyum sendiri. Konyol. Ini sungguh konyol dan tak masuk akal. Begitu cepat dunia berubah. Fuhh…!
Sejurus kemudian kutarik dalam-dalam napas yang tiba-tiba menyesak. Apa yang sudah kulakukan? Aku yang tegas, penuh ambisi, bertekuk lutut pada sosok itu. Tak berdaya menyimpan tumpukan rasa bahkan hingga belasan tahun lamanya. Aku benar-benar tak berdaya.
Dalam folder pribadi yang sengaja kuatur hidden-file kutulis beratus-ratus puisi cengeng dan surat-surat cinta yang tak pernah sampai padanya. Yang benar saja. Semua tulisan itu tidak akan pernah kubiarkan dibaca siapapun, bahkan olehnya. Bisa hancur reputasiku.
Apa? Kau ingin tahu apa saja yang sudah kutulis tentang dia? Sudahlah kawan. Simpan saja keingintahuanmu. Itu tidak mungkin terjadi. Aku tidak akan membiarkanmu atau siapapun membacanya lalu kalian semua akan menganggapku sebagai laki-laki pengecut.
Ah, aku memang pengecut. Dan reputasiku memang sudah hancur berkeping-keping. Bahkan tak berbekas.
Sebatang rokok kunyalakan bersamaan dengan tangan kananku membuka kaca jendela. Sabuk pengaman kulepaskan. Angin malam menerpa wajah. Menelusup di sela-sela berewok tipis yang aku tidak pernah berniat mencukurnya dan sudah menjadi ciri khasku. Hanya sebentar saja rokok itu kembali kumatikan. Aku bukan perokok. Tapi kepala ini tiba-tiba saja pening teringat peristiwa lima tahun lalu. Saat kemunculan sosok itu untuk pertama kali di hadapan kedua orang tuaku. Sosok yang sudah kusebut ribuan bahkan jutaan kali dalam hidden file-ku.
Saat itu Mama menatapku dan menatapnya bergantian. Tak bisa kugambarkan ekspresi wajahnya kala itu. Hanya kulihat mulutnya sedikit terbuka, alis berkerut hingga hampir bertemu satu dengan lainnya. Setelah itu aku tak berani menatapnya lebih lama lagi. Sosok di sampingku tertunduk dalam, hampir membungkuk. Dalam ketertundukan yang dalam, aku masih sempat memperhatikan ia menggigit bibir tipisnya. Bibir itu sudah lama menginspirasi malam demi malam yang kuhabiskan untuk berpuisi dari balik tirai jendela yang terbuka menghadap langit saat bulan purnama. Jika ada peribahasa pungguk merindukan bulan, mungkin seperti itulah yang kurasakan menjadi si Pungguk.
Papa agak berbeda melahirkan ekspresi keterkejutannya. Jemari tangannya mengusap sekitar mulut berulang kali. Tak kuhitung berapa kali tapi aku tahu ia risau. Bisa kurasakan dari gerakan tangannya yang makin lama semakin cepat.
Aku sangat paham dengan kerisauan kedua orang tuaku. Sejenak kucari kata-kata yang tepat untuk meredam kecanggungan di antara kami.
“Ma, Pa, hanya hingga bayi itu lahir.” Suaraku memecah kesunyian.
“Entahlah Satria, Mama belum bisa memutuskan,” akhirnya Mama membuka suara setelah terdiam cukup lama.
“Pa…,” aku beralih pada Papa.
Papa mengubah posisi duduknya.
“Satria, apa kamu sudah pertimbangkan ini matang-matang?” suara Papa yang penuh wibawa membuatku kembali terdiam. Aku beruntung mewarisi wibawa dari suara berat papa yang oleh sebagian besar teman dianggap seksi, tapi sebagian besar lainnya menganggap itu menakutkan. Takut seperti saat kau mendengar suara teguran bos ketika tertidur di antara tumpukan laporan akhir bulan.
“Iya, Pa.”
“Baiklah,” suara Papa menembus masuk ke dalam relung hatiku. Menggema di alam bawah sadarku, bagai ketukan palu sang Hakim yang membebaskan terdakwa dari tuntutan jaksa penuntut umum.
“Terima kasih, Pa, Ma.”
Lalu dimulailah babak baru di rumah orang tuaku. Tetangga mulai mempertanyakan siapa sosok itu. Perempuan muda yang semakin hari makin membesar perutnya. Pastilah bukan pembantu Pak Haji.
Bisik-bisik yang semula lirih semakin terdengar nyaring. Dari mulut ke mulut, dari kampung hingga ke Jakarta, mengudara lewat jaringan tak kasat mata, mereka terus saja bergunjing.
Ibu-ibu muda menelpon suaminya yang bekerja sebagai kuli bangunan di ibukota. Remaja-remaja mencibir dalam kekecewaan. Satria Pinilih anak Pak Haji juragan beras sudah menghamili anak orang. Satria Pinilih yang dipuja-puja para gadis karena ketampanannya, yang diidamkan para bapak untuk menjadi menantu karena kecemerlangan karirnya di ibukota, kini namanya hancur dalam sekejap. Mengapalah aku harus menghamili anak orang dan memeliharanya pula di rumah orang tuaku? Sementara dengan ketampanan dan kemapananku saja di luar sana sudah mengantri perempuan-perempuan molek yang dengan bodohnya rela menyerahkan keperawanan hanya demi mendapatkan hatiku. Namun aku bukanlah orang seperti itu.
Angin malam berhembus semakin dingin. Kututup kaca jendela. Tapi tetap saja aku harus menyalakan AC karena ingatanku masih melayang  peristiwa lima tahun lalu dan itu selalu membuatku gerah dan geram.
Mendengar gunjingan orang aku berusaha menutup telinga rapat-rapat. Bayangan sosok itulah yang menguatkanku. Sosok rapuh yang kurindukan sejak bertahun-tahun lalu saat masih duduk di bangku sekolah menengah. Satria muda bertaruh dengan sahabatnya, siapa yang dapat menaklukkan hati sosok itu, dia harus menjaganya dengan bersungguh-sungguh. Tak peduli bagaimana akhirnya, dia harus berjanji satu sama lain.
Dan benarlah. Sahabatku benar-benar menepati janji. Lepas kuliah mereka menjadi sepasang pengantin yang serasi. Gagah dan cantik. Pastinya! Satu-satunya sosok yang menyedot seluruh perhatianku pastilah cantik. Cantik luar dalam. Entahlah. Aku pun sebenarnya belum pernah melihat selain yang biasa kulihat saja yaitu wajah dan telapak tangan. Dan sahabatku, ya, dia pantas mendapatkan sosok itu. Cerdas, religius, dan optimis.
Aku tahu mereka hidup bahagia. Hingga suatu malam ponselku berdering. Sahabatku mengalami kecelakaan. Baleno-ku melesat menuju rumah sakit yang dimaksud. Sahabatku sudah mendapat penanganan dokter saat aku sampai. Aku duduk di bangku panjang ruang tunggu. Sementara sosok itu duduk di ujung seberang sambil terisak. Tak ada keluarga yang hadir. Hanya beberapa rekan kantor dan seorang ibu paruh baya yang terus mengusap-usap bahu dan lengan sosok itu. Aku pernah melihat ibu itu dan diperkenalkan oleh sahabatku sebagai pemilik rumah sewa yang mereka tempati.
Sejurus kemudian seorang dokter keluar dari dalam ruang IGD.
“Pasien akan dipindahkan ke ruang perawatan dan bisa dijenguk keluarganya. Tapi kondisinya belum stabil. Harap tidak membuat pasien terganggu.”
Keterangan dokter yang singkat membuat semua yang hadir merasa lega. Kami menemui sahabatku di dalam kamar. Sosok itu langsung memeluk suaminya dengan isakan yang makin menguat. Aku tak sampai hati melihat pemandangan itu. Aku memilih keluar dari ruangan dan kemudian pulang ke apartemen. Biarlah, mereka butuh ruang untuk menumpahkan rasa.
***
Tangan kiriku menggapai-gapai sesuatu pada laci dashboard. Sebuah minuman kaleng yang konon bisa 'bikin melek' kuteguk hingga habis. Mata ini sama sekali tidak mengantuk. Sosok itu benar-benar sudah membuatku lupa dengan segala rasa yang lazim dirasakan oleh tubuh yang terus bergerak sejak subuh hingga dini hari ini. Esok adalah hari yang penting buatku. Aku tidak akan lupa itu.
Seperti aku pun tidak akan pernah lupa ketika sosok itu muncul di apartemenku tepat satu pekan sepeninggal suaminya yang juga sahabatku yang meninggal karena kecelakaan. Oh ya, aku sudah ceritakan itu sebelumnya kawan. Yang belum kuceritakan adalah sosok itu datang padaku dengan membawa rekaman pada telpon genggamannya. Nampak dalam rekaman itu sahabatku berkata dengan terbata-bata. Lama kuulang dan kuputar ulang lagi rekaman itu sampai kemudian aku bisa mencernanya.
“Satria, jika Tuhan memanggilku sekarang, aku ingin menitipkan istriku padamu. Tolong jaga dia, setidaknya hingga bayi kami lahir. Setelah itu, antarkan ia pada abangnya jika telah pulang. Mintakan maafku karena tidak bisa lagi menjaganya.”
Aku tergugu. Jika tak malu pada sosok di depanku mungkin aku sudah meraung sekencangnya. Tentu sahabat, tentu aku akan menjaga istrimu. Dengan sepenuh hatiku. Bahkan tanpa kau minta sekalipun….
Sebatang rokok kembali kunyalakan dan kembali kumatikan. Penunjuk waktu digital sudah menunjukkan pukul 02.05. Sebentar lagi si Baleno Biru akan memasuki kota kabupaten dan satu jam mendatang sudah bisa memasuki kampung halamanku. Hatiku gelisah tak menentu. Antara senang, salah tingkah, tak tahu nanti apa yang akan kukatakan pertama kali jika bertemu dengan sosok itu. Ya Tuhan, usiaku sudah lewat seperapat abad, tapi jika memikirkan tentang sosok itu, degup jantungku masih sama seperti remaja belasan tahun lalu.
Sosok itu masih menetap dan melanjutkan hidupnya di kampung halamanku. Kedua orang tuanya sudah tiada. Satu-satunya saudara lelakinya saat ini bekerja di Jepang sebagai anak buah kapal. Ia tinggal di rumahku. Di rumah orang tuaku. Oh, bukan. Lebih tepatnya di toko milik Papa yang sebagian kini difungsikan sebagai rumah tinggal bersama anaknya. Ia menjadi  sekretaris Mama merangkap teknisi dan operator komputer di toko Papa, sesuai jurusan kuliahnya dulu. Papa dan Mama sangat menyayangi mereka. Sore hari saat toko sudah tutup banyak anak-anak tetangga sekitar rumah yang belajar mengaji dan membaca buku di rumah Papa. Rumah yang semula sepi kini ramai dan semarak.
 
Kuinjak pedal gas lebih ringan ketika dari jauh sudah mulai nampak bayangan rumah-rumah penduduk yang kukenal sejak kecil. Semakin melambat dan akhirnya berhenti di depan rumah besar yang telah terpasang umbul-umbul janur kuning pertanda ada perayaan pernikahan di rumah itu.
Ooh… begini rasanya jadi calon pengantin. Mataku menelusuri setiap sudut rumah yang sudah dihias dekorasi cantik. Di dapur para perempuan sudah mulai sibuk memasak di bawah arahan Mama untuk acara pernikahanku pagi nanti. Seorang pria tinggi besar yang asing tampak tertidur lelah di kursi sofa depan televisi. Orang itu pasti kakak lelaki calon mempelaiku yang juga baru datang tengah malam tadi. Aku ragu, apa aku masih bisa memejamkan mata di saat-saat seperti ini.
Sesosok perempuan keluar dari dalam kamar mandi sambil menyeka wajahnya yang basah terkena air wudhu. Ia terkejut melihat kedatanganku. Kami saling tatap dalam diam. Diam yang mewakili jutaan kata-kata. Kata-kata yang kususun rapi sejak SMA yang tanpa sengaja terbaca olehnya karena kecerobohanku sendiri. Bagaimana bisa aku menyerahkan laptop pribadiku yang rusak untuk diperbaiki olehnya?
Aku tersenyum, hmm… duhai perempuan pujaanku, hari ini akan kupinang kau di rumah orang tuaku. Dan untuk sahabatku, saksikanlah aku pun akan menepati janjiku. Anakmu akan menjadi anakku. Dan kita akan menjadi sanakan, yaitu saudara yang bukan saudara.

 Ah, sudahlah. Ini toh hanya angan-anganku. Aku memasuki rumah Mama dan Papa dengan lunglai. Tidak ada dekorasi indah, tidak ada ibu-ibu yang sibuk memasak, tak ada sosok itu. Semua masih sama seperti ketika terakhir kali kutinggalkan. Aku menghela nafas berat. Membangun kepercayaan tidaklah mudah, terlebih jika kepercayaan itu pernah terkoyak. Mereka tetap menganggapku pezina. Setidaknya hari ini akan ada keputusan dari Mama dan Papa. Keputusan yang kuanggap sangat penting dan akan menjadi sejarah baru bagiku. Aku berharap begitu.
Mungkin aku memang seburuk itu. Mungkin kalian semua juga seburuk itu. Mungkin aku bisa berubah. Mungkin kalian semua juga bisa berubah. Mungkin kita semua bisa mengubah nasib.

*****

Cikadu, 18 Ramadhan 1439 H
3 Juni 2018 M

Blog tentang kecantikan, make up, fesyen, mode, dan budaya