03 September 2022

Menerima dan Mengelola Emosi Agar Mental Lebih Sehat

Tags

Kesehatan mental


Belakangan ini, saya sering menyimak tweet dari dr. Jiemi Ardian. Beliau adalah psikiater, ahli kejiwaan. Beberapa topik yang saya anggap penting bahkan saya retweet agar bisa dibaca sewaktu-waktu dan jadi reminder. Ada rasa senang karena ada orang yang mengerti dan membahas hal yang relate dengan apa yang saya rasakan. Apa itu artinya saya punya masalah kejiwaan? Haha.... Entahlah. 

Maha Besar Alloh yang sudah menciptakan manusia begitu kompleks dimensinya dan bisa dipelajari dari segala sisi. Dimensi biologi, anatomi, psikologi, religi, metafisik, dll. Kadang dimensi-dimensi itu saling bertolak belakang, tapi tak apa. Dalam kondisi tertentu saya cukup punya banyak waktu dan ketertarikan untuk mengolahnya dalam otak. Hmm..., adakah dari kalian yang begitu absurd dan menyukai hal rumit seperti itu juga? Mungkin kita jenis makhluk yang berasal dari planet yang sama?

Dari dr. Jiemi ini saya belajar memahami diri sendiri. Meski usia tak lagi muda, bukan berarti kita kebal dari hal-hal yang membuat suasana hati labil dan terguncang. Sebab seperti itulah jiwa kita diciptakan; bertumbuh dan berkembang. Tidak ada kata berhenti untuk terus belajar dan mendapat sudut pandang baru.

Sejauh ini, ini yang saya pahami dari diri saya:
Saya orang yang obsesif. Hal ini membuat isi kepala saya jauuuuh lebih banyak dari apa yang bisa saya lakukan, dan itu sering menjadi penyebab insomnia. Saya tidak akan bisa berhenti jika apa yang saya kejar belum tercapai.

Beruntung saya mendapat pendidikan agama yang cukup sejak kecil dari orang tua yang mengajarkan tentang syukur dan sabar. Dua hal ini menjadi pengendali kegilaan obsesi saya yang terlalu banyak. Terobsesi jadi orang kaya, salah satunya. Haha!

Bukan berarti orang yang memiliki obsesi besar menjadi tidak baik. Namun, jika kontrol emosi dan mental tidak bagus, bisa-bisa hidup akan terguncang jika kenyataan tidak sesuai harapan.


Menerima dan Mengelola Emosi Agar Mental Lebih Sehat


Bicara tentang kesehatan mental, tidak semua orang aware terhadap hal ini agaknya. Bahkan banyak yang menganggap lebay dan berlebihan, seolah itu wacana keren yang hanya perlu dibahas dalam jurnal kesehatan atau materi panjang lebar dalam seminar.

Dalam kehidupan sehari-hari, sebenarnya banyak hal sederhana yang dapat memelihara kesehatan mental. Berikut ini yang paling sering saya rasakan, yaitu:


1. Rasa senang adalah emosi yang positif. Bisa mengekspresikan rasa senang adalah hal positif lainnya.


Emosi yang paling mudah diterima oleh diri sendiri dan lingkungan adalah rasa senang. Rasa senang dianggap lebih identik dengan hidup bahagia yang diidam-idamkan setiap orang.

Rasa senang pula yang merangsang seseorang untuk melakukan suatu hal. Senang melakukan pekerjaan yang kemudian kita sebut sebagai passion, senang mendalami hobi, senang jika customer puas dengan pelayanan yang kita berikan, contohnya.

Saya sendiri berusaha memberi ruang pada diri sendiri, suami, maupun anak-anak agar mampu mengekspresikan rasa senang. Seperti ketika dapat job make up besar, atau saat suami baru menyelesaikan proyek penting di kantornya, atau ketika anak-anak selesai melewati ujian di sekolahnya, kami biasanya pergi bersama. Tidak harus ke tempat yang wah, asal ekspresi rasa senang bisa tersalurkan. Kadang hanya makan bakso di warung sebelah sekeluarga.

Rasa senang yang diekspresikan akan memantul dan menular pada orang di sekitar. Bagi-bagi hadiah juga ekspresi rasa senang yang juga menyenangkan orang lain. Asal jangan menjadi beban saja ya. Hadiah pun tidak harus mahal dan itu pun tidak selalu harus dengan benda berharga.


2. Rasa sedih juga emosi yang positif. Menerima perasaan sedih dan mengelolanya, adalah hal positif lainnya.


Sama halnya dengan perasaan senang, perasaan sedih juga perlu mendapat tempat yang sama dalam pengelolaan emosi yang sehat.

Banyak orang yang masih berpikir dan menjadikan rasa sedih sebagai kambing hitam hidup susah. Padahal, rasa sedih itu sangat normal.

Orang yang tidak merasakan sedih ketika kehilangan orang yang disayangi, misalnya, justru perlu dipertanyakan kesehatan mentalnya. 

Menurut saya, rasa sedih berkaitan dengan rasa empati pada keadaan orang/makhluk hidup di sekitar. Contohnya, saya sedih melihat kucing yang pincang karena dianiaya orang. Kasihan sekali kucing tidak bisa bicara dan mengungkapkan keinginannya untuk makan, sehingga harus mencuri dan sering mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari manusia.

Rasa sedih juga bisa merangsang untuk berbuat sesuatu agar tidak merasakan perasaan sedih karena hal yang sama. Misalnya, saya dan anak-anak rutin menyediakan makanan untuk kucing-kucing, agar kucing manapun bisa makan dan tidak perlu mencuri karena lapar.


3. Rasa marah itu normal. Mengakui dan menerima rasa marah, lalu mengelolanya dengan baik adalah keterampilan yang bisa dipelajari.


Marah terhadap seseorang atau suatu hal, sering terjadi pada kehidupan sehari-hari. Misalnya marah karena dibohongi, dikhianati, atau marah karena menerima perlakuan dan perkataan kasar.

Saya pernah sangat marah ketika Si Sulung saya dapati mengambil uang di dalam kotak uang dagangan.

Hal pertama yang saya lakukan ketika marah adalah menerimanya. Ya saya marah. Setelah itu saya akan coba menahan diri agar tidak meledak-ledak. Diam adalah salah satu cara agar rasa marah tidak melebar ke mana-mana. 

Jika hati sudah agak tenang, saya akan pikirkan apakah penyebab rasa marah itu. Apakah benar saya marah pada Si Sulung yang mencuri dan uang saya berkurang, atau saya marah pada diri sendiri yang tidak becus mendidik anak?

Pelan-pelan saya ajak bicara Si Sulung. Saya sampaikan padanya bahwa saya marah. Saya tanyakan mengapa dia mengambil uang tanpa izin. Saya tanyakan pula apakah ia pernah melakukan hal yang sama sebelumnya. Kenapa harus mengambil diam-diam padahal ia bisa minta baik-baik pada saya atau ayahnya.

Jawaban Si Sulung membuat saya tertegun. Si Sulung berpikir, ia mengambil uang sejumlah yang pernah dipinjam ayahnya dari dia, sebagai ganti karena ayah tidak juga mengembalikan uangnya yang pernah dipinjam. Si Sulung bilang bahwa ia tidak pernah melakukan ini sebelumnya. Ia meminta maaf dan berjanji tidak akan mengulangi.

Ternyata rasa marah jika bisa dikelola dengan baik, akan menghasilkan akhir yang baik bagi semua. Saya juga senang karena tidak mengeluarkan kata-kata yang bisa menyakiti hati Si Sulung. 


4. Rasa kecewa yang masih wajar.


Rasa kecewa bisa diakibatkan karena kenyataan tidak sesuai harapan. Ekspektasi terlalu tinggi sering membuat kita tidak siap secara mental jika ternyata hasilnya berbeda.

Dulu, saya sering mengidolakan orang tapi kemudian kecewa. Kok ternyata dia tidak sebaik yang saya kira. Saya lupa, tokoh idola juga manusia yang memiliki kelebihan maupun kekurangan.

Sekarang, saya mengidolakan seseorang sewajarnya saja. Sisi kebaikannya tetap saya kagumi terlepas dari hal yang menurut saya negatif pada orang tersebut. Jika suka bisa ditiru jika tak suka maka abaikan saja yang dianggap tidak baik.

Saya sering membicarakan hal ini dengan Si Sulung yang sudah cukup dewasa untuk mengerti hal abstrak. Pada intinya, sebagai remaja, dalam masa transisinya dari anak-anak menjadi dewasa, akan ada banyak hal yang tidak sama dengan apa yang dulu ia bayangkan. Kelola rasa kecewa akan berbagai hal dengan tepat. Agar ia tidak menjadi apatis.

Rasa kecewa tentu emosi yang normal. Penyebab dari luar, jelas di luar kuasa kita dan tidak bisa kita kendalikan. Maka, kita perlu mengendalikan emosi dari dalam. 


5. Rasa cemas yang masih dalam batas wajar.


Rasa cemas sebenarnya hal yang wajar dirasakan. Kecemasan bisa timbul karena kurangnya informasi mengenai suatu hal, seperti mencemaskan pasangan yang belum memberi kabar dalam perjalanan jauh.

Saya pun sering merasa cemas jika mengerjakan job wedding besar klien Rumah Tsabita. Khawatir jika ada yang miss ataupun masalah dalam persiapan hingga pelaksanaan. Rasa cemas saya adalah sebagai wujud tanggung jawab yang harus diemban.

Cara saya mengatasinya adalah dengan memastikan segala sesuatu sudah fix dan oke selama masa persiapan. Cek dan ricek kembali mana yang sudah siap, mana yang belum siap, baik perlengkapan maupun kru pendukung. Saya akan cari informasi sebanyak-banyaknya mengenai lokasi, medan jalan, kondisi rumah, sampai ukuran baju dan sepatu keluarga kedua mempelai. Dalam hal ini komunikasi sangat diperlukan dengan semua vendor dan tuan rumah.

Makin banyak informasi yang didapat, makin tahu progress dalam persiapannya, maka kecemasan makin berkurang.



Sadar Akan Kesehatan Mental

 
Dengan makin kompleksnya kehidupan modern, hal yang dulu tidak perlu dikhawatirkan sekarang bisa menjadi sangat serius dan bisa mengganggu kesehatan mental.

Pengaruh media sosial yang mengepung 24 jam, makin membuat kita terbawa-bawa secara sadar maupun tidak.

Yang sering membuat miris adalah munculnya kebiasaan mengomentari hidup orang lain, mem-buli fisik ataupun nasib orang, ataupun sekedar kata-kata ringan pada orang asing yang kita bahkan tidak tahu keadaan mentalnya sedang down atau tidak.


Kabar baiknya, sekarang ini makin banyak bahan bacaan yang mengangkat tema kesehatan mental. Salah satunya adalah Kamar Kenangan yang banyak membahas tentang tema tersebut.

Selain itu, ada pula banyak topik lain yang tak kalah menarik buat dibaca di waktu senggang.***

Blog tentang kecantikan, make up, fesyen, mode, dan budaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Ditunggu tanggapan dan komentarnya ya.