27 Juli 2021

The Proposal

Tags

flash fiction


Cewek bodoh mana yang mau membantu cowok yang dicintainya melamar perempuan pujaan hati? 

Cewek bodoh itu aku. 

Menurut dia, aku punya selera bagus untuk merancang acara penembakan dan katakan cinta. Jam terbangku memang cukup tinggi dalam hal ini. Namun, membantunya melamar perempuan untuk menjadi istrinya, yang benar saja? 

Aku tak bisa bayangkan bagaimana rupaku jika melihat cowok yang kurindukan siang dan malam itu berlutut dan menyodorkan cincin pada perempuan lain. Seharusnya perempuan itu aku! 

Tapi..., ya, di sinilah aku sekarang, sedang bersamanya hendak melamar seorang gadis. Kenyataan yang tragis buatku.

Cowok itu sudah bersiap di sebuah kafe yang romantis. Ia berjalan mondar mandir dengan gelisah. Keringat membanjiri kemeja hitamnya. 

Waktu yang ditentukan makin dekat. Aku lebih gelisah. Bunga tulip yang mahal sudah kusiapkan. Cowok itu akan meminta maaf lebih dulu sebelum melamar, begitu skenarionya. 

Meminta maaf untuk apa? Ia akan meminta maaf karena sejak hari ini ia tidak bisa lagi menjadi temannya, melainkan calon imam. Ya ampuuun..., itu skenario tergombal yang pernah kubuat. 

Ya, aku yang merancangnya. Bodohnya aku! 

Cowok itu pasti gelisah memikirkan kemungkinan penolakan ataukah akan diterima lamarannya. Sejujurnya aku lebih gelisah, antara harus berdoa agar ia diterima atau berharap ditolak saja, dua-duanya tetap akan membuat hatiku sakit. 

Aku langsung siaga saat jarum jam tepat menunjukkan waktu kedatangan target penembakan. Wajah tampan cowok itu menegang. Aku pun sama. Berkali-kali mata cowok itu berputar, mencari sosok yang ditunggu dengan gelisah. Reflek, aku mengikuti gerak matanya dari tempat persembunyian. 

Semenit, lima menit, sudah lima belas menit perempuan itu terlambat. Aku keluar dari persembunyian. 

"Apa kamu sudah memastikan kedatangannya sekali lagi?" tanyaku memastikan. 

"Ya. Dia pasti datang," jawabnya lemah. Rupa wajah tampan itu hampir tak berbentuk karena frustasi, membuatku kesal pada perempuan itu karena sudah membuat klienku lama menunggu. 

Aku mencebik. 

"Aku akan mencarinya. Barangkali ia tersesat di sekitar sini," aku menawarkan bantuan seraya membetulkan letak bunga tulip di meja agar tak perlu bertemu dengan matanya. 

"Ide bagus." 

"Seperti apa wajahnya?" tanyaku.

Cowok itu membuka ponsel, mencari foto perempuan pujaannya, lalu mengulurkan ponsel itu ke arahku. 

Seketika dahiku mengeryit, kemudian terbelalak. Tak ada foto perempuan. Hanya ada pantulan sebuah wajah dari kamera depan mode on. Wajahku!

Saat kuangkat wajah, cowok itu sudah menyodorkan seikat bunga tulip, "maaf," katanya. 

Aku tak bisa melarang semburat merah muncul di pipi. Kupukul pelan cowok tampan itu dengan tulipnya. Kudapati wajahnya tampak lega luar biasa. Binar di matanya membius bukan buatan. 

"Bodoh! Bukan begitu skenarionya," kataku. 

Sepertinya ia tak perlu skenario lagi. Aku sudah tahu ending-nya.****



Blog tentang kecantikan, make up, fesyen, mode, dan budaya

2 komentar:

  1. What..😱😱😱

    Ternyata yang mau dilamar oleh cowok itu wanita yang disuruh nyiapin semuanya. -_-

    Sengaja komentar ngga spoiler biar yang baca di bawahku ngga tahu.😁

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkunjung. Ditunggu tanggapan dan komentarnya ya.